Hukum Bisnis Syari,ah

Home Top Ad

Responsive Ads Here

KAIDAH-KAIDAH FIQIH ( QAWA’ID FIQHIYAH) ( Disusun Oleh : H. AMRILSYAH LUBIS,S.PdI, MH ) I.      PENGANTAR          Penti...




KAIDAH-KAIDAH FIQIH
(QAWA’ID FIQHIYAH)
( Disusun Oleh : H. AMRILSYAH LUBIS,S.PdI, MH )
I.     PENGANTAR

         Pentingnya peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah dari dahulu sampai sekarang menjadikan motivasi generasi muslim untuk tetap mempelajarinya secara mendalam. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama. 
         Sebagaimana telah diketahui bahwa kewajiban generasi islam dalam zaman pembangunan masyarakat ini adalah berusaha untuk menegakkan masyarakat yang diridhai Allah dengan cara menyebarkan fiqh Islam keseluruh bagian tanah air Indonesia. Karena tidak dapat di pungkiri bahwa kemunduran fiqh islam dapat berdampak pada kerusakan bagi masyarakat Islam.
        Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh akan mengetahui benang merah yang kemudian  menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.   

2. PENGERTIAN QAW’ID FIQHIYAH

        Untuk mengetahui qawaid fiqhiyah, penulis akan menghadirkan pengertiannya dalam arti etimologi maupun terminologi. Kaidah secara etimologi diambil  dari bahasa arab القاعدة  yang artinya adalah pondasi atau dasar. Sedangkan القواعد  adalah bentuk jama’ dari القاعدة. Maka  kaedah secara etimologi mempunyai arti dasar-dasar. (Munawwir, 1138: 1997)
        Al-jurjani mengungkapkan makna terminologinya adalah sebuah hukum atau perkara universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan masalah yang masuk dalam cakupan pembahasannya. Syaikh Muhammad bin sholih al utsaimin berkata dalam syarah ushul min ilmil ushul bahwasannya fiqih secara bahasa terambil dari kata الفقه yang artinya adalah faham.sedangkan secara istilah adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yangberhubungan dengan amal perbuatan hamba berdasarkan pada dalil-dalilnya secara terperinci.
       Dr Muhammad shidqi al burnu menyimpulkan bahwa kaedah fiqih adalah hukum atau pondasi yang bersifat umum yang bisa untuk memahami permasalahan fiqih yang tercangkup dalam pembahasannya. ( Sabiq, 2009)
       Kaidah fiqih juga disimpulkan oleh penulis pengertiannya yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah. 

3. ISTILAH-ISTILAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN QAWA’ID
    FIQHIYAH

Ada beberapa istilah yang berkenaan dengan qawaid fiqhiyah yang terkadang membuat beberapa orang mengalami kebingungan dan kekeliruan.
Diantaranya  adalah Al-asybah wan nadzair, dzawabitul fiqh dan qawaid ushuliyah 

A.    Antara qawaidul fiqh dan asybah wan nadzair 
       Bukanlah suatu kebetulan bila kitab-kitab kaidah fiqh dinamakan asybah wan nadzoir, sebagaimana kitab asybah wan nadzoir karya Ibnu Al-Wakil, Tajud din Subki, Syuyuthi dan juga  Ibnu Nujaim, namun diantara keduanya mempunyai hubungan,
Adapun kitab-kitab asybah wan nadzoir lebih umum dari pada kitab-kitab qawaid fiqhiyah. Dan kitab-kitab qawaid fiqhiyah lebih husus dari yang lainnya.
       Nadwa berkata: ketika kami meneliti karangan yang berjudul “Asybah wan Nadzoir fil Fiqhi”  dari kitab milik Ibnu Al-Wakil As-Syafii (716 H) sampai kitab karya ibnu Nujaim Al-Hanafi  (970 H), kami menemui beberapa dari karangan tersebut mencakup tentang masalah fiqh dan ushul fiqh dan terkadang juga mengenai sebagian ilmu theologi.
(موسى، إحسان. 1422هـ) 
B.     Antara qawaid fiqhiyah dan kaedah ushuliyah
        Persamaan kaidah fiqih dengan kaidah ushul fiqih karena keduanya adalah perkara yang berhubungan denganhukum-hukum syariat. Adapun kaidah fiqih berguna untuk mengetahui hukum-hukum yang praktis. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkam secara benar.
Kaidah-kaidah ushuliyah yaitu ketentuan global yang memungkinkan Seperti jika kalian berkata: “perintah menandakan kewajiban” ini disebut qaidah, dan apabila kalian menemukan perintah di dalam al-quran ataupun hadits : seperti kerjakanlah sholat (أقيموا الصلاة) bayarlah zakat (آتوا الزكاة), maka ini disebut perintah, adapun kaidah adalah الآمر للوجوب (perintah menandakan suatu kewajiban) dan inilah yang disebut kaidah ushuliyah, dan kaidah usuliah ini selalu berhubungan dengan pemahaman dalil Adapun mengenai kaidah fiqih dipelajari setelah belajar fikih secara sempurna, karena kaidah fikih seperti ringkasan yang dengan ringkasan tersebut bisa mencakup seluruh masalah  manusia dalam fikih. Dan  setelah membaca fiqih dengan lengkap mengenai ibadah dan muamalah, kaidah syari’ah, bahwa amal itu tergantung niatnya sama seperti Al umur bimaqosidiha (segala sesuatu tergantung pada maqsudnya) perhatikan: Al umur bimaqosidiha ini tidak hanya pada wudhu, sholat, zakat, haji, dan puasa saja namun juga mencakup semua ibadah. Seperti ketika berkata: wadhu adalah iabadah, ibadah tersebut diharuskan niyat. Maka amal perbuatan harus disertai niat. Maka hal tersebut merupakan pembahasan masalah fiqih berbeda dengan ushul fiqih. (Hartati. 2012)
        Jika kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqh merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah, yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh mengijtihadkan suatu hukum.
Maka penulis menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu. Sedangkan kaidah fikih muncul setelah furu’. 
C.     Antara qawaid fiqhiyah dan dhawabith fiqhiyah
       Kemiripan antara kaedah fiqhiyah dengan dhabit perlu dibedakan. Dzabit lebih husus, adapun Kaidah fiqhiyah mencakup berbagai bab fiqh, berbeda dengan dzabit yang hanya mencakup satu bab saja. Seperti contoh (اليقين لا يزول بالشك) atau(الشك يُدْرَأ باليقين)؛   dalam kaidah tersebut berfungsi pada masalah fiqh mengenai hal yang berkaitan dengan yakin atau ragu, maka kaidah tersebut dapat diterapkan dalam beberapa bab fiqih seperti bersuci, sholat, puasa, zakat dan lain-lain.
Contoh dzabith adalah
 (كل ما يُعْتَبَر في سجود الصلاة؛ يُعْتَبَر في سجود التلاوة) maka, hal tersebut hanya husus dalam bahasan sholat, bukan pada bab fiqhih yang lainnya. (صالح . 1420 هـ ـ 2000 م).

4. FAEDAH QAWA’IDAH FIQHIYAH

Banyak sekali faedah-fedah yang dapat diambil dari kai77dah fiqih ini,dua diantaranya yaitu: 
A.    Sebuah kaedah fiqih yang bisa digunakan untuk mengetahui banyak permasalahan fiqih yang    tercangkup dalam pembahasannya.dan ini akan sangat memudahkan seorang penuntut ilmu untuk mengetahui hokum-hukum fiqih tanpa harus menghafal sebuah permasalahan satu persatu. Berkata imam Al qorrofi : “barang siapa yang menguasai fiqih lewat penguasaan kaedah-kaedahnya,maka dia tidak butuh untuk menghafal semua permasalahannya satu persatu karena sudah tercangkup dalam keumuman kaedah tersebut.
 B.     Dr Muhammad shidqi berpendapat bahwa penguasaan kaidah fiqih akan sangat membantu seseorang dalam memberikan sebuah hukum yang kontemporer dan belum pernah terjadi sebelumnya dengan cara yang mudah. ( Sabiq, 2009) Penulis menyimpulkan dari dua manfaat tadi bisa difahami bahwa kaedah fiqih sangat diperlukan sangat penting untuk kaum muslim,untuk itu kaum muslim perlu mengkaji lebih dalam tentang kaedah fiqih,agar  dapat lebih bijak dalam memutuskan suatu hokum fiqih jika terdapat masalah didalamnya.

5. SUMBER QAWA’ID FIQHIYAH

Kaidah-kaidah fiqih bila ditinjau dari  sumbernya, maka terbagi menjadi tiga yaitu kaedah fiqih yang diambil dari nash Al qur’an dan As Sunah, Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah dan kaedah fiqih yang diambil dari ijtihat para ulama’.pembahasan ini akan dibahas secara rinci sebagai berikut: 
A.      Kaidah fiqih yang teksnya terambil langsung dari nash Al qur’an dan As Sunah. Misalnya firman Allah ta’ala:
  ولا تأكلوا أموا لكم بينكم بالباطل <188>
"Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang bathil.”(QS.Al Baqoroh: 188)
Ayat ini menunjukkan sebuah kaidah tentang haramnya semua jenis transaksi dan perbuatan yang akan berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak syar’i.
Adapun missal kaedah fiqih yang terambil dari sabda rosuluallah SAW adalah:
لا ضرر ولا ضرار
"Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
Hadits ini merupakan kaedah umum tentang berbagai hal,mulai dari masalah makanan pergaulan,muamalah dan lainnya.bahwasannya semua itu kalau mengakibatan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain maka diharamkan. 
B.     Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah,namun kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as Sunah.
Misalnya adalah sebuah kaedah yang sangat masyhur:
اليقين لا يزول بالشكّ
"Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan.”
Kaadah ini berdasarkan kepada hadits, diantaranya adalah hadits abu sa’id Al hudri:
إذا شكّ أحدكم في صلاته فلم يدر كم صلّى أثلاثا أم أربعا فليطرح الشكّ و ليبن على ما استيقن
"Dari Abu Said al Khudri berkata: “ Rosululloh bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak mengetahui sudah berapa rokaat dia sholat, apakah tiga ataukah empat rokaat dia sholat,maka hendaklah dia membuang keraguan tersebut dan berpeganglah pada sesuatu yang meyakinkan.”(HR.Muslim) 
C.
     Kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’.dan ini biasanya didasarkan atas sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah (maksud dan tujuan dari sebuah hu kum syar’i ) atau yang lainnya. ( Sabiq, 2009)

6. HUKUM BERHUJJAH DENGAN QAWAID FIQHIYAH 

Apakah kaidah-kaidah fiqih ini boleh dijadikan sebagai sebuah hujjah? Jawabannya: masalah ini perlu diperinci sesuai dengan perincian sumber kaidah fiqih.
Pertama:jika kaidah itu teksnya langsung terambil dari nash al-qur’an dan as sunah as shohihah,maka tidak diragukan lagi bahwa kaedah itu adalah hujjah,karena berhujjah dengan kaidah tersebut sama saja dengan berhujjah dengan nash yang menjadi sandaran utamanya.
Kedua:  jika kedua itu teksnya tidak langsung terambil dari nash, namun hanya disusun oleh para ulama’, hanya saja kandungan maknanya berdasarkan pada apa yang terdapat dalam al-quran dan as sunnah,maka kaidah semacam inipun hujjah, karena dengan berhujjah dengan kaidah tersebut, sama saja dengan berhujjah dengan berbagai dalil yang mendasarinya.
Ketiga: adapun kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’ atau berdasarkan dalil qiyas, maqoshid syar’iyyah maupun lainnya,maka hukumnya adalah hukum berdalil dengan asal dari kaedah tersebut.( Sabiq, 2009)

7. SEJARAH SINGKAT ILMU QAWA’ID FIQHIYAH 

Sejarah semua ilmu-ilmu syar’i dimulai sejak zaman rosulullah SAW karena memang zaman itulah zaman turunnya wahyu dan tasyri’. Kaidah fiqih dimulai dengan adanya beberapa ayat dan hadits rosuluallah SAW yang bisa dianggap sebagai sebuah kaedah yang mencangkup banyak permasalahan fiqih. Sebagai sebuah contoh adalah beberapa ayat al-quran , diantaranya:
وأحلّ الله البيع وحرّم الرّبوا (275)
Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba” 
Adapun hadist Rosulullah SAW diantaranya:
البيّنة على المدعي واليمين على من انكر
“orang yang menuntut harus mempunyai bukti,sedangkan yang mengingkari cukup bersumpah”
Lalu kalau kita beranjak kepada zaman sahabat,maka akan kita temukan atsar beberapa sahabat,yang bisa dianggap sebagai sebuah kaedah fiqih.
Contohnya adalah apa yang dikatakan oleh umar bin khothob:
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Hak-hak itu tergantung pada syaratnya.” (HR.bukhori)
Selanjutnya hal-hal semacam ini juga ditemukan dari perkataan para tabi’in dan para ulama’ setelahnya.
Misalnya apa yang pernah dikatakan oleh Imam Abu Yusuf Al-Qodli:
التعزير إلى الإمام على قدر عظم الجرم و صغره
"Hukuman ta’zir itu diserahkan kepada hakim,tergantung dari besar dan kecilnya tindakan kriminal.”
كلّ من مات من المسلمين لا وارث له فماله لبيت المال
“Siapa saja dari kalangan ummat islam yang meninggal dunia sedangkan ia tidak meninggalkan ahli waris,maka hartanya untuk baitul mal.”
Bagaimana pula kalau kita cermati perkataan imam syafi’i dalam beberapa kitabnya maka akan kita dapati bahwa beliau mengungkapkan sebuah kaedah fiqih,misalnya:
الرخص لايتعدي بها مواضعها
“ Sebuah keringanan syar’i itu tidak bisa melampaui tempat berlakunya.” (Al umm 1/80)
Imam ahmad berkata :
كل ما جاز فيهالبيع تجوز فيه الهبة والصدقة و الرهن
“Semua yang boleh diperjual belikan maka boleh untuk dijadikan bahan hibah, shodaqoh dan gadai.”(Masail Imam Ahmad oleh Imam abu dawud hal :203)
Dan masih banyak lagi dari pada ulama’ islam.
Namun kaedah fiqih baru dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu yang tersendiri sekitar abad keempat hijriyah kemudian berlanjut pada abad-abad setelahnya.
Adapun yang pertama kali dianggap mengumpulkan kaedah-kaedah fiqhiyah adalah  imam abu thohir ad dabbas beliau adalah salah seorang ulama’ madzhab hanafi pada abad keempat hijriyah, sebagaimana yang disyaratkan oleh imam suyuti,al Ala’I dan ibnu nujaim dalam beberapa kitab qowaid fiqhiyah mereka.
Kemudian diteruskan oleh imam karkhi (beliau wafat tahun 340H) yang mana beliau memiliki sebuah risalah yang mengandung tiga puluh Sembilan kaedah fiqhiyah.kemudian setelah itu para ulama’ berlomba untuk menulis dalam bidang ini sehingga banyak didapatkan kitab yang berhubungan dan membahas kaedah fiqih. (Lihat Al wajiz  fi adhohi qowaid Al fiqh al kulliyah oleh Dr Muhammad Shidqi al burnu hal: 44, Jamharoh al qowaid al fiqhiyah oleh Dr Ali Ahmad An- Nadawi 1/29 dan selanjutnya ). ( Sabiq, 2009)

8. MACAM-MACAM QAWA’ID FIQHIYAH

Macam-macam kaedah fiqih bisa ditinjau dari tiga sisi:
Pertama: ditinjau dari sumbernya.
Kedua : ditinjau dari keluasaan pembahsannya.
Ketiga: ditinjau dari apakah kaidah tersebut disepakati atau diperselisihkan oleh para ulama’.
Adapun yang pertama,maka telah dibahas pada sumber kaidah fiqih.
Adapun yang kedua:  Maka kaidah fiqih kalau ditinjau dari luas dan sempitnya pembahasan dan permasalahan, terbagi menjadi tiga macam: 
A.    Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam.
Kaedah ini biasanya disebut dengan القواعد الكلية الكبري
            Jumlah dari kaedah ini yang masyhur dikalangan ulama’ ada lima kaedah,namun sebagian      ahlul ilmi menambahkan satu lagi sehingga jumlahnya ada enam. Kaidah –kaidah ini adalah:
a)   إنما الأعمال بالنيات
"Amal perbuatan itu tergantung niatnya”
b)  اليقين لا يزول بالشكّ
“Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan”
c)   المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan membawa kemudahan”
d)  لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh membuat sesuatu yang membahayakan”
e)   العادة محكمة
“Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum”
f)    إعمال الكلام أولى من إهماله
“memfungsikan ucapan lebih baik dari pada menghilangkannya” 
B.     Kaidah yang tidak masuk dalam kaedah besar di atas, dan kaidah ini terbagi menjadi dua, yaitu:
Pertama : kaidah-kaidah yang menjadi cabang dari kaidah besar diatas.
Contohnya:
الضرورات تبيح المحذورات
“Kondisi darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang”
Kedua: kaidah-kaidah yang bukan merupakan cabang dari beberapa kaidah besar di atas, namun juga mencangkup banyak permasalahan fiqih meskipun tidak seluas yang keenam kaidah di atas.
Contohnya:
التابع تابع
“ Sesuatu yang hanya mengikuti (lainnya)  maka hukumnya pun pengikut lainnya”.
C.
     Kaidah yang hanya memiliki kawasan permasalahan yang sempit.yang biasanya hanya berlaku untuk satu atau beberapa bab saja.
Misalnya:
الأصل في الماء الطهارة
“Asal hukum air itu suci.”
Kaidah ini hanya pada permasalahan air saja dan tidak berlaku pada yang lainnya.
Adapun yang ketiga:
yaitu pembagian kaedah fiqih ditinjau dari kesepakatan atau perselisihan para ulama’, maka terbagi menjadi dua:
A.
    Kaedah yang disepakati oleh para ulama
Di antaranya adalah kaidah-kaidah besar serta banyak kaidah lainnya. 
B.
     Kaedah fiqih madzab tertentu saja.
Dan ini adalah beberapa kaidah yang ditetapkan oleh para ulama’ untuk berbagai masalah yang terdapat dalam madzhab mereka, namun diselisihi oleh madzhab ulama’ lainnya. ( Sabiq, 2009)

9. CARA ULAMA’ DALAM MENYUSUN QAW’ID FIQHIYAH

        Para ulama’ melakukan banyak cara dalam penyusunan urutan kaidah-kaidah salah satunya dimulai dengan kaidah-kaidah besar kemudian diikuti dengan beberapa kaidah kecil yang tergabung padanya, kemudian selain itu ada pula yang dimulai dengan kaedah yang terambil dari nash alquran dan as sunah, bahkan ada juga yang menulisnya tanpa ada urutan yang jelas.

10. PENUTUP

         Terdapat banyak pengertian dari qawaid fiqhiyah dan dapat disimpulkan bahwa pengertiannya yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah. Perbedaan antara  Al-asybah wan nadzair, dzawabitul fiqh dan qawaid ushuliyah adalah jika  asybah wan nadzair lebih umum dari qawaid fiqhiyah, kemudian  terdapat beberapa perbedaan antara perbedaan qawaid fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith fiqhiyah. Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqh ialah , qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata. Untuk macam-macam kaidah fiqih bisa ditinjau dari tiga sisi: ditinjau dari sumbernya, dari keluasaan pembahsannya dan ditinjau dari apakah kaedah tersebut disepakati atau diperselisihkan oleh para ulama’. Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam yaitu
إنما الأعمال بالنيات، اليقين لا يزول بالشك، المشقة تجلب التيسير، لا ضرر ولا ضرار، العادة محكمة،إعمال الكلام أولى من إهماله

DAFTARPUSTAKA

 صالح . 1420 هـ ـ 2000 م، مجموعة الفوائد البهية على منظومة القواعد البهية. المكتبة الشاملة
موسى، إحسان. 1422هـ. ورقة بحثية بعنوان:دراسة السنة النبوية في جامعة العلوم.المكتبة الشاملة
        Sabiq, Ahmad bin Abdul latief Abu Yusuf. 2009. Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih Islam. Purwodadi Sedayu Gresik: Pustaka Al-furqon

                     Hartati. 2012. Hakikat Qawaid Fiqhiyah. (online). (www.abdulhelim.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html. Diakses  pada tanggal 19/02/13)

                     Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif


 

 

 

 

Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Muttafaq 'Alaih


Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumna di nash. Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.
Di bawah ini diuraikan beberapa kaidah fiqh yang terdapat di dalam beberapa kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup pula kepada berbagai bidang fiqh, antara lain:
1.      Kaidah Fiqh Pertama
الاجتهاد لاينقص بالاجتهاد
“ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian”
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa suatu hasil ijtihad di masa lalu tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam kasus yang sama. Seperti yang dikatakan oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Contoh dari kaidah di atas adalah bila seseorang menginginkan sholat akan tetapi tidak menemukan air, maka ia diperbolehkan untuk bertayamum (ijtihad I), seusai sholat ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang sholatnya (ijtihad II). Contoh lain adalah seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan dengan dijatuhi hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berbeda dengan  pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan keadilan yang berbeda, tapi pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda, maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan lain-lain.
2.      Kaidah Fiqh Kedua
الايثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب
“mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi”
Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak boleh mendahulukan orang lain dalam hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan barisan pertama dalam sholat, meminang seorang wanita dan mendapatkan kesempatan air suci dalam berwudhu. Sedang dalam masalah keduniaan maka disunnatkan mendahulukan orang lain seperti mendahulukan orang lain dalam menerima zakat dan lain-lain.
3.      Kaidah Fiqh Ketiga
اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
apabila antara yang halal dan yang haram berkumpul maka dimenangkan yang haram.”
        Pada kaidah tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk mendahulukan yang haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai satu masalah, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan, maka dua dalil itu dipilih yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat. Seperti ketetapan khalifah Utsman bin Affan ketika ditanya ketentuan mengawini dua saudara, yang satu berstatus merdeka dan yang lain berstatus budak sahaya. Dalam QS. An-Nisa’:22, tidak boleh mengumpulkan dua saudara wanita untuk dinikahi. Sedang dalam QS. An-Nisa’:23, memperbolehkannya asal yang satu menjadi budak sahaya, maka keputusan beliau adalah melarangnya, sesuai dengan kaidah di atas.
4.      Kaidah Fiqh Keempat
التابع تابع
“pengikut (hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”
Cabang dari kaidah ini adalah :
التابع لايفرد بالحكم
“pengikut itu tidak menyendiri di dalam hukum”
Contohnya : anak kambing di dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut.
Cabang Kedua:
التابع ساقط بسقوط المتبوع
“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Contohnya: tidak boleh mengawini saudara wanita istri, tapi jika istrinya telah dicerai maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang Ketiga :
التابع لايتقدم على المتبوع
Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”
Contohnya : tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang Keempat :
يغتفر فى التوابع مالا يغتفر فى غيرها
dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak, maka wakaf itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.
5.      Kaidah Fiqh Kelima
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”
Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I, bahwa kedudukan imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul Umar bin Khattab yang berbunyi “sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas menyangkut kebijakan pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia.
6.      Kaidah Keenam
الحدود تسقط بالشبهات
   hukuman had gugur bila masih meragukan (Syubhat)”
    Contohnya : hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikira    istrinya. Hal ini tidak dapat dijatuhkan had sebab hukumnya masih syubhat.
7.      Kaidah Ketujuh
الحريم له حكم ما هو حريم له
“yang menjaga sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga”
Contoh : wajib mencuci sebagian leher dan kepala ketika mencuci muka, sebagian lengan atas (sampai siku-siku), mencuci sebagian atas mata kaki dalam wudhu.
8.      Kaidah Kedelapan
اذاجتمع امران من جنس واحد لم يختلف مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالبا
                                    “apabila dua perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka yang satu dimasukkan kepada yang lain menurut kebiasaannya”
Contoh : seseorang yang berhadas kecil dan berhadas besar kemudian ia mandi untuk menghilangkan hadas besar, maka kedua hadas tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah tersebut sama, yang besar dapat mengikuti yang kecil, namun sebaliknya tidak. Demikian juga dengan seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis kemudian di tujuh hari pertama bulan syawal berpuasa, maka kedua puasa itu dianggap sah dan mempunyai dua pahala.
9.      Kaidah Kesembilan
اعمال الكلام اولى من اهماله
“mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya”
Contoh : seseorang mengatakan kepada istrinya “engkau saya talak, engkau saya talak” dengan tidak ada niatan dalam pengulangan itu, maka pengulangan itu dianggap ta’sis, yakni jatuhnya dua talak, bukan sebagai penguat talak satu.  
10.   Kaidah Kesepuluh
الخرج بالضمان
“berhak mendapatkan hasil disebabkan karena keharusan mengganti kerugian”
Contoh : seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi, sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
11.  Kaidah Kesebelas
الخروج من الخلاف مستحب
“keluar dari pertentangan itu diutamakan”
Contoh : membasuh atau mengusap sebagian rambut kepala dalam berwudu. Bagi Imam Syafi’I cukup mengusap sebagian kecil, sedang Imam Abu Hanifah memberi batasan minimal sepertiga rambut kepala, sedangkan Imam Malik mengharuskan keseluruhannya. Agar tidak terjadi kekhilafan maka terbaik mengikuti Imam Malik, karena itu berarti mengikuti pula pendapat Imam Syafi’I dan Imam Abu  Hanifah. Lagi pula kedua imam tersebut memberi hukum sunnat terhadap pengusapan keseluruhan.  
12.  Kaidah Fiqh Kedua Belas
الدفع ى من الرفعاقو
“menolak gugatan lebih kuat dari pada menggugat”
Contoh : untuk menjadi pemimpin memerlukan persyaratan-persyaratan. Maka lebih mudah menolak calon-calon yang tidak memenuhi syarat daripada menggugat pemimpin yang sudah diangkat.
13.  Kaidah Fiqh Ketiga Belas
الرخص لاتناط بالمعاصى
“keringanan-keringanan tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Contoh : tidak diperkenankan mengqashar atau menjamak shalat atau juga berbuka puasa di bulan ramadhan ketika dalam perjalanan menuju maksiat, misalnya untuk berjudi, bertemu dengan wanita atau lelaki yang tidak halal dengan tujuan berkhalwat dan lain-lain.
14.  Kaidah Keempat Belas
الرخص لاتناط بالشك
“keringanan-keringanan tidak dikaitkan dengan keragu-raguan”
Contoh : seseorang ragu seberapa jauh jarak yang dia tempuh dalam perjalanan, maka kondisi seperti ini ia tidak boleh menjamak atau mengqashar sholat.
15.  Kaidah Kelima Belas
الرضا بالشئ رضا بما بتولد منه
“Ridha terhadap sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu tersebut”
Contoh : seseorang ridha membeli rumah yang sudah rusak, maka dia juga harus ridha apabila rumah itu runtuh. Apabila ridha beragama Islam, maka harus melaksanakan kewajibannya.
16.  Kaidah Fiqh Keenam Belas
السؤال معاد فى الجواب
“pertanyaan itu terulang dalam jawaban”
Maksud dari kaidah ini adalah hukum dari jawaban itu terletak pada soalnya. Misalnya, seorang hakim bertanya kepada tergugat (suami) “apakah engkau telah menalak istrimu?” dijawab “ya”. Maka bagi istri telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.
17.  Kaidah Fiqh Ketujuh Belas
لا ينسب الى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض الحاجة الى البيان بيان
“perkataan tidak bisa disandarkan pada yang diam, tapi sikap diam pada hal yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan”
Kaidah tersebut menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan diamnya seseorang, kecuali ada qarinah, tanda-tanda atau alasan lain yang menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan juga. Contohnya, apabila seorang tergugat ditanya oleh hakim, dan dia diam saja, maka diperlukan bukti-bukti lain untuk menguatkan gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila seorang perawan yang diminta izinnya untuk dinikahkan lalu dia diam saja tanpa ada perubahan apa-apa ada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan persetujuannya.

18.  Kaidah Fiqh Kedelapan Belas
الفضيلة المتعلقة بذات العبادة اولى من المتعلقة بمكانها
“keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”
Misalnya : sholat sendirian (munfarid) di lingkungan Kakbah adalah lebih utama daripada di luar lingkungan Kakbah. Akan tetapi sholat di luar lingkungan Kakbah dengan berjamaah lebih utama daripada sholat sendirian di lingkungan Kakbah, begitu pula di masjid.
19.  Kaidah Fiqh Kesembilan Belas
الواجب لايترك الا لواجب
“sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula”
Contohnya : seorang istri berpuasa senin atau kamis, namun suaminya tidak menginginkan puasanya karena sebab-sebab tertentu, maka istri tersebut wajib meninggalkan puasanya untuk memenuhi keinginan suaminya.
20.  Kaidah Fiqh Kedua Puluh
ماحرم استعماله حرم اتخاذه
“apa  yang haram diambilnya haram pula diberikannya”
Kaidah di atas menetapkan bahwa tidak diperkenankan seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain, apabila diberikan maka ia termasuk menolong dan mendorong atas pekerjaan dosa dan diharamkan.

21.  Kaidah Fiqh Keduapuluh Satu
المشغول لا يشغل
“sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya”
Contohnya : apabila seseorang telah menggadaikan hartanya pada Bank Syari’ah misalnya, maka ia tidak bisa menggadaikan lagi kepada bank yang lain, atau menjualnya.
22.  Kaidah Fiqh Keduapuluh Dua
من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحرمانه
“barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contohnya : belum masuk waktunya sholat lalu ia sholat, atau belum waktunya berbuka ia berbuka, maka baik sholat maupun puasanya menjadi batal. Contoh lain adalah seorang ahli waris membunuh pewarisnya, maka ia tidak berhak atas warisan tersebut.
23. Kaidah Fiqh Keduapuluh Tiga
الولاية الخاصة اقوى من الولاية العامة
“kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekuasaan yang umum”
Contohnya : Camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada Gubernur, Ketua RT lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada kepala Desa, wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya daripada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.
Daftar Pustaka : 
        -   Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Dalam Hukum Islam Dalam          Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2011        
    - Usman, Mukhlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam : Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
       -   Majid, Abdul, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta: Kalam Mulia, 2008









 Text Box: KAEDAH – KAEDAH
FIQIH

DISUSUN OLEH :
H. AMRILSYAH LUBIS, S.PdI,MH
Border_501.png

KAIDAH-KAIDAH FIQIH
(QAWA’ID FIQHIYAH)
( Disusun Oleh : H. AMRILSYAH LUBIS,S.PdI, MH )
I.     PENGANTAR

         Pentingnya peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah dari dahulu sampai sekarang menjadikan motivasi generasi muslim untuk tetap mempelajarinya secara mendalam. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama. 
         Sebagaimana telah diketahui bahwa kewajiban generasi islam dalam zaman pembangunan masyarakat ini adalah berusaha untuk menegakkan masyarakat yang diridhai Allah dengan cara menyebarkan fiqh Islam keseluruh bagian tanah air Indonesia. Karena tidak dapat di pungkiri bahwa kemunduran fiqh islam dapat berdampak pada kerusakan bagi masyarakat Islam.
        Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh akan mengetahui benang merah yang kemudian  menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.   

2. PENGERTIAN QAW’ID FIQHIYAH

        Untuk mengetahui qawaid fiqhiyah, penulis akan menghadirkan pengertiannya dalam arti etimologi maupun terminologi. Kaidah secara etimologi diambil  dari bahasa arab القاعدة  yang artinya adalah pondasi atau dasar. Sedangkan القواعد  adalah bentuk jama’ dari القاعدة. Maka  kaedah secara etimologi mempunyai arti dasar-dasar. (Munawwir, 1138: 1997)
        Al-jurjani mengungkapkan makna terminologinya adalah sebuah hukum atau perkara universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan masalah yang masuk dalam cakupan pembahasannya. Syaikh Muhammad bin sholih al utsaimin berkata dalam syarah ushul min ilmil ushul bahwasannya fiqih secara bahasa terambil dari kata الفقه yang artinya adalah faham.sedangkan secara istilah adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yangberhubungan dengan amal perbuatan hamba berdasarkan pada dalil-dalilnya secara terperinci.
       Dr Muhammad shidqi al burnu menyimpulkan bahwa kaedah fiqih adalah hukum atau pondasi yang bersifat umum yang bisa untuk memahami permasalahan fiqih yang tercangkup dalam pembahasannya. ( Sabiq, 2009)
       Kaidah fiqih juga disimpulkan oleh penulis pengertiannya yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah. 

3. ISTILAH-ISTILAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN QAWA’ID
    FIQHIYAH

Ada beberapa istilah yang berkenaan dengan qawaid fiqhiyah yang terkadang membuat beberapa orang mengalami kebingungan dan kekeliruan.
Diantaranya  adalah Al-asybah wan nadzair, dzawabitul fiqh dan qawaid ushuliyah 

A.    Antara qawaidul fiqh dan asybah wan nadzair 
       Bukanlah suatu kebetulan bila kitab-kitab kaidah fiqh dinamakan asybah wan nadzoir, sebagaimana kitab asybah wan nadzoir karya Ibnu Al-Wakil, Tajud din Subki, Syuyuthi dan juga  Ibnu Nujaim, namun diantara keduanya mempunyai hubungan,
Adapun kitab-kitab asybah wan nadzoir lebih umum dari pada kitab-kitab qawaid fiqhiyah. Dan kitab-kitab qawaid fiqhiyah lebih husus dari yang lainnya.
       Nadwa berkata: ketika kami meneliti karangan yang berjudul “Asybah wan Nadzoir fil Fiqhi”  dari kitab milik Ibnu Al-Wakil As-Syafii (716 H) sampai kitab karya ibnu Nujaim Al-Hanafi  (970 H), kami menemui beberapa dari karangan tersebut mencakup tentang masalah fiqh dan ushul fiqh dan terkadang juga mengenai sebagian ilmu theologi.
(موسى، إحسان. 1422هـ) 
B.     Antara qawaid fiqhiyah dan kaedah ushuliyah
        Persamaan kaidah fiqih dengan kaidah ushul fiqih karena keduanya adalah perkara yang berhubungan denganhukum-hukum syariat. Adapun kaidah fiqih berguna untuk mengetahui hukum-hukum yang praktis. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkam secara benar.
Kaidah-kaidah ushuliyah yaitu ketentuan global yang memungkinkan Seperti jika kalian berkata: “perintah menandakan kewajiban” ini disebut qaidah, dan apabila kalian menemukan perintah di dalam al-quran ataupun hadits : seperti kerjakanlah sholat (أقيموا الصلاة) bayarlah zakat (آتوا الزكاة), maka ini disebut perintah, adapun kaidah adalah الآمر للوجوب (perintah menandakan suatu kewajiban) dan inilah yang disebut kaidah ushuliyah, dan kaidah usuliah ini selalu berhubungan dengan pemahaman dalil Adapun mengenai kaidah fiqih dipelajari setelah belajar fikih secara sempurna, karena kaidah fikih seperti ringkasan yang dengan ringkasan tersebut bisa mencakup seluruh masalah  manusia dalam fikih. Dan  setelah membaca fiqih dengan lengkap mengenai ibadah dan muamalah, kaidah syari’ah, bahwa amal itu tergantung niatnya sama seperti Al umur bimaqosidiha (segala sesuatu tergantung pada maqsudnya) perhatikan: Al umur bimaqosidiha ini tidak hanya pada wudhu, sholat, zakat, haji, dan puasa saja namun juga mencakup semua ibadah. Seperti ketika berkata: wadhu adalah iabadah, ibadah tersebut diharuskan niyat. Maka amal perbuatan harus disertai niat. Maka hal tersebut merupakan pembahasan masalah fiqih berbeda dengan ushul fiqih. (Hartati. 2012)
        Jika kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqh merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah, yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh mengijtihadkan suatu hukum.
Maka penulis menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu. Sedangkan kaidah fikih muncul setelah furu’. 
C.     Antara qawaid fiqhiyah dan dhawabith fiqhiyah
       Kemiripan antara kaedah fiqhiyah dengan dhabit perlu dibedakan. Dzabit lebih husus, adapun Kaidah fiqhiyah mencakup berbagai bab fiqh, berbeda dengan dzabit yang hanya mencakup satu bab saja. Seperti contoh (اليقين لا يزول بالشك) atau(الشك يُدْرَأ باليقين)؛   dalam kaidah tersebut berfungsi pada masalah fiqh mengenai hal yang berkaitan dengan yakin atau ragu, maka kaidah tersebut dapat diterapkan dalam beberapa bab fiqih seperti bersuci, sholat, puasa, zakat dan lain-lain.
Contoh dzabith adalah
 (كل ما يُعْتَبَر في سجود الصلاة؛ يُعْتَبَر في سجود التلاوة) maka, hal tersebut hanya husus dalam bahasan sholat, bukan pada bab fiqhih yang lainnya. (صالح . 1420 هـ ـ 2000 م).

4. FAEDAH QAWA’IDAH FIQHIYAH

Banyak sekali faedah-fedah yang dapat diambil dari kai77dah fiqih ini,dua diantaranya yaitu: 
A.    Sebuah kaedah fiqih yang bisa digunakan untuk mengetahui banyak permasalahan fiqih yang    tercangkup dalam pembahasannya.dan ini akan sangat memudahkan seorang penuntut ilmu untuk mengetahui hokum-hukum fiqih tanpa harus menghafal sebuah permasalahan satu persatu. Berkata imam Al qorrofi : “barang siapa yang menguasai fiqih lewat penguasaan kaedah-kaedahnya,maka dia tidak butuh untuk menghafal semua permasalahannya satu persatu karena sudah tercangkup dalam keumuman kaedah tersebut.
 B.     Dr Muhammad shidqi berpendapat bahwa penguasaan kaidah fiqih akan sangat membantu seseorang dalam memberikan sebuah hukum yang kontemporer dan belum pernah terjadi sebelumnya dengan cara yang mudah. ( Sabiq, 2009) Penulis menyimpulkan dari dua manfaat tadi bisa difahami bahwa kaedah fiqih sangat diperlukan sangat penting untuk kaum muslim,untuk itu kaum muslim perlu mengkaji lebih dalam tentang kaedah fiqih,agar  dapat lebih bijak dalam memutuskan suatu hokum fiqih jika terdapat masalah didalamnya.

5. SUMBER QAWA’ID FIQHIYAH

Kaidah-kaidah fiqih bila ditinjau dari  sumbernya, maka terbagi menjadi tiga yaitu kaedah fiqih yang diambil dari nash Al qur’an dan As Sunah, Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah dan kaedah fiqih yang diambil dari ijtihat para ulama’.pembahasan ini akan dibahas secara rinci sebagai berikut: 
A.      Kaidah fiqih yang teksnya terambil langsung dari nash Al qur’an dan As Sunah. Misalnya firman Allah ta’ala:
  ولا تأكلوا أموا لكم بينكم بالباطل <188>
"Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang bathil.”(QS.Al Baqoroh: 188)
Ayat ini menunjukkan sebuah kaidah tentang haramnya semua jenis transaksi dan perbuatan yang akan berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak syar’i.
Adapun missal kaedah fiqih yang terambil dari sabda rosuluallah SAW adalah:
لا ضرر ولا ضرار
"Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
Hadits ini merupakan kaedah umum tentang berbagai hal,mulai dari masalah makanan pergaulan,muamalah dan lainnya.bahwasannya semua itu kalau mengakibatan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain maka diharamkan. 
B.     Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah,namun kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as Sunah.
Misalnya adalah sebuah kaedah yang sangat masyhur:
اليقين لا يزول بالشكّ
"Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan.”
Kaadah ini berdasarkan kepada hadits, diantaranya adalah hadits abu sa’id Al hudri:
إذا شكّ أحدكم في صلاته فلم يدر كم صلّى أثلاثا أم أربعا فليطرح الشكّ و ليبن على ما استيقن
"Dari Abu Said al Khudri berkata: “ Rosululloh bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak mengetahui sudah berapa rokaat dia sholat, apakah tiga ataukah empat rokaat dia sholat,maka hendaklah dia membuang keraguan tersebut dan berpeganglah pada sesuatu yang meyakinkan.”(HR.Muslim) 
C.
     Kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’.dan ini biasanya didasarkan atas sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah (maksud dan tujuan dari sebuah hu kum syar’i ) atau yang lainnya. ( Sabiq, 2009)

6. HUKUM BERHUJJAH DENGAN QAWAID FIQHIYAH 

Apakah kaidah-kaidah fiqih ini boleh dijadikan sebagai sebuah hujjah? Jawabannya: masalah ini perlu diperinci sesuai dengan perincian sumber kaidah fiqih.
Pertama:jika kaidah itu teksnya langsung terambil dari nash al-qur’an dan as sunah as shohihah,maka tidak diragukan lagi bahwa kaedah itu adalah hujjah,karena berhujjah dengan kaidah tersebut sama saja dengan berhujjah dengan nash yang menjadi sandaran utamanya.
Kedua:  jika kedua itu teksnya tidak langsung terambil dari nash, namun hanya disusun oleh para ulama’, hanya saja kandungan maknanya berdasarkan pada apa yang terdapat dalam al-quran dan as sunnah,maka kaidah semacam inipun hujjah, karena dengan berhujjah dengan kaidah tersebut, sama saja dengan berhujjah dengan berbagai dalil yang mendasarinya.
Ketiga: adapun kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’ atau berdasarkan dalil qiyas, maqoshid syar’iyyah maupun lainnya,maka hukumnya adalah hukum berdalil dengan asal dari kaedah tersebut.( Sabiq, 2009)

7. SEJARAH SINGKAT ILMU QAWA’ID FIQHIYAH 

Sejarah semua ilmu-ilmu syar’i dimulai sejak zaman rosulullah SAW karena memang zaman itulah zaman turunnya wahyu dan tasyri’. Kaidah fiqih dimulai dengan adanya beberapa ayat dan hadits rosuluallah SAW yang bisa dianggap sebagai sebuah kaedah yang mencangkup banyak permasalahan fiqih. Sebagai sebuah contoh adalah beberapa ayat al-quran , diantaranya:
وأحلّ الله البيع وحرّم الرّبوا (275)
Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba” 
Adapun hadist Rosulullah SAW diantaranya:
البيّنة على المدعي واليمين على من انكر
“orang yang menuntut harus mempunyai bukti,sedangkan yang mengingkari cukup bersumpah”
Lalu kalau kita beranjak kepada zaman sahabat,maka akan kita temukan atsar beberapa sahabat,yang bisa dianggap sebagai sebuah kaedah fiqih.
Contohnya adalah apa yang dikatakan oleh umar bin khothob:
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Hak-hak itu tergantung pada syaratnya.” (HR.bukhori)
Selanjutnya hal-hal semacam ini juga ditemukan dari perkataan para tabi’in dan para ulama’ setelahnya.
Misalnya apa yang pernah dikatakan oleh Imam Abu Yusuf Al-Qodli:
التعزير إلى الإمام على قدر عظم الجرم و صغره
"Hukuman ta’zir itu diserahkan kepada hakim,tergantung dari besar dan kecilnya tindakan kriminal.”
كلّ من مات من المسلمين لا وارث له فماله لبيت المال
“Siapa saja dari kalangan ummat islam yang meninggal dunia sedangkan ia tidak meninggalkan ahli waris,maka hartanya untuk baitul mal.”
Bagaimana pula kalau kita cermati perkataan imam syafi’i dalam beberapa kitabnya maka akan kita dapati bahwa beliau mengungkapkan sebuah kaedah fiqih,misalnya:
الرخص لايتعدي بها مواضعها
“ Sebuah keringanan syar’i itu tidak bisa melampaui tempat berlakunya.” (Al umm 1/80)
Imam ahmad berkata :
كل ما جاز فيهالبيع تجوز فيه الهبة والصدقة و الرهن
“Semua yang boleh diperjual belikan maka boleh untuk dijadikan bahan hibah, shodaqoh dan gadai.”(Masail Imam Ahmad oleh Imam abu dawud hal :203)
Dan masih banyak lagi dari pada ulama’ islam.
Namun kaedah fiqih baru dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu yang tersendiri sekitar abad keempat hijriyah kemudian berlanjut pada abad-abad setelahnya.
Adapun yang pertama kali dianggap mengumpulkan kaedah-kaedah fiqhiyah adalah  imam abu thohir ad dabbas beliau adalah salah seorang ulama’ madzhab hanafi pada abad keempat hijriyah, sebagaimana yang disyaratkan oleh imam suyuti,al Ala’I dan ibnu nujaim dalam beberapa kitab qowaid fiqhiyah mereka.
Kemudian diteruskan oleh imam karkhi (beliau wafat tahun 340H) yang mana beliau memiliki sebuah risalah yang mengandung tiga puluh Sembilan kaedah fiqhiyah.kemudian setelah itu para ulama’ berlomba untuk menulis dalam bidang ini sehingga banyak didapatkan kitab yang berhubungan dan membahas kaedah fiqih. (Lihat Al wajiz  fi adhohi qowaid Al fiqh al kulliyah oleh Dr Muhammad Shidqi al burnu hal: 44, Jamharoh al qowaid al fiqhiyah oleh Dr Ali Ahmad An- Nadawi 1/29 dan selanjutnya ). ( Sabiq, 2009)

8. MACAM-MACAM QAWA’ID FIQHIYAH

Macam-macam kaedah fiqih bisa ditinjau dari tiga sisi:
Pertama: ditinjau dari sumbernya.
Kedua : ditinjau dari keluasaan pembahsannya.
Ketiga: ditinjau dari apakah kaidah tersebut disepakati atau diperselisihkan oleh para ulama’.
Adapun yang pertama,maka telah dibahas pada sumber kaidah fiqih.
Adapun yang kedua:  Maka kaidah fiqih kalau ditinjau dari luas dan sempitnya pembahasan dan permasalahan, terbagi menjadi tiga macam: 
A.    Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam.
Kaedah ini biasanya disebut dengan القواعد الكلية الكبري
            Jumlah dari kaedah ini yang masyhur dikalangan ulama’ ada lima kaedah,namun sebagian      ahlul ilmi menambahkan satu lagi sehingga jumlahnya ada enam. Kaidah –kaidah ini adalah:
a)   إنما الأعمال بالنيات
"Amal perbuatan itu tergantung niatnya”
b)  اليقين لا يزول بالشكّ
“Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan”
c)   المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan membawa kemudahan”
d)  لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh membuat sesuatu yang membahayakan”
e)   العادة محكمة
“Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum”
f)    إعمال الكلام أولى من إهماله
“memfungsikan ucapan lebih baik dari pada menghilangkannya” 
B.     Kaidah yang tidak masuk dalam kaedah besar di atas, dan kaidah ini terbagi menjadi dua, yaitu:
Pertama : kaidah-kaidah yang menjadi cabang dari kaidah besar diatas.
Contohnya:
الضرورات تبيح المحذورات
“Kondisi darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang”
Kedua: kaidah-kaidah yang bukan merupakan cabang dari beberapa kaidah besar di atas, namun juga mencangkup banyak permasalahan fiqih meskipun tidak seluas yang keenam kaidah di atas.
Contohnya:
التابع تابع
“ Sesuatu yang hanya mengikuti (lainnya)  maka hukumnya pun pengikut lainnya”.
C.
     Kaidah yang hanya memiliki kawasan permasalahan yang sempit.yang biasanya hanya berlaku untuk satu atau beberapa bab saja.
Misalnya:
الأصل في الماء الطهارة
“Asal hukum air itu suci.”
Kaidah ini hanya pada permasalahan air saja dan tidak berlaku pada yang lainnya.
Adapun yang ketiga:
yaitu pembagian kaedah fiqih ditinjau dari kesepakatan atau perselisihan para ulama’, maka terbagi menjadi dua:
A.
    Kaedah yang disepakati oleh para ulama
Di antaranya adalah kaidah-kaidah besar serta banyak kaidah lainnya. 
B.
     Kaedah fiqih madzab tertentu saja.
Dan ini adalah beberapa kaidah yang ditetapkan oleh para ulama’ untuk berbagai masalah yang terdapat dalam madzhab mereka, namun diselisihi oleh madzhab ulama’ lainnya. ( Sabiq, 2009)

9. CARA ULAMA’ DALAM MENYUSUN QAW’ID FIQHIYAH

        Para ulama’ melakukan banyak cara dalam penyusunan urutan kaidah-kaidah salah satunya dimulai dengan kaidah-kaidah besar kemudian diikuti dengan beberapa kaidah kecil yang tergabung padanya, kemudian selain itu ada pula yang dimulai dengan kaedah yang terambil dari nash alquran dan as sunah, bahkan ada juga yang menulisnya tanpa ada urutan yang jelas.

10. PENUTUP

         Terdapat banyak pengertian dari qawaid fiqhiyah dan dapat disimpulkan bahwa pengertiannya yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah. Perbedaan antara  Al-asybah wan nadzair, dzawabitul fiqh dan qawaid ushuliyah adalah jika  asybah wan nadzair lebih umum dari qawaid fiqhiyah, kemudian  terdapat beberapa perbedaan antara perbedaan qawaid fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith fiqhiyah. Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqh ialah , qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata. Untuk macam-macam kaidah fiqih bisa ditinjau dari tiga sisi: ditinjau dari sumbernya, dari keluasaan pembahsannya dan ditinjau dari apakah kaedah tersebut disepakati atau diperselisihkan oleh para ulama’. Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam yaitu
إنما الأعمال بالنيات، اليقين لا يزول بالشك، المشقة تجلب التيسير، لا ضرر ولا ضرار، العادة محكمة،إعمال الكلام أولى من إهماله

DAFTARPUSTAKA

 صالح . 1420 هـ ـ 2000 م، مجموعة الفوائد البهية على منظومة القواعد البهية. المكتبة الشاملة
موسى، إحسان. 1422هـ. ورقة بحثية بعنوان:دراسة السنة النبوية في جامعة العلوم.المكتبة الشاملة
        Sabiq, Ahmad bin Abdul latief Abu Yusuf. 2009. Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih Islam. Purwodadi Sedayu Gresik: Pustaka Al-furqon

                     Hartati. 2012. Hakikat Qawaid Fiqhiyah. (online). (www.abdulhelim.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html. Diakses  pada tanggal 19/02/13)

                     Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif


 

 

 

 

Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Muttafaq 'Alaih


Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumna di nash. Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.
Di bawah ini diuraikan beberapa kaidah fiqh yang terdapat di dalam beberapa kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup pula kepada berbagai bidang fiqh, antara lain:
1.      Kaidah Fiqh Pertama
الاجتهاد لاينقص بالاجتهاد
“ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian”
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa suatu hasil ijtihad di masa lalu tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam kasus yang sama. Seperti yang dikatakan oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Contoh dari kaidah di atas adalah bila seseorang menginginkan sholat akan tetapi tidak menemukan air, maka ia diperbolehkan untuk bertayamum (ijtihad I), seusai sholat ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang sholatnya (ijtihad II). Contoh lain adalah seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan dengan dijatuhi hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berbeda dengan  pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan keadilan yang berbeda, tapi pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda, maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan lain-lain.
2.      Kaidah Fiqh Kedua
الايثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب
“mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi”
Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak boleh mendahulukan orang lain dalam hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan barisan pertama dalam sholat, meminang seorang wanita dan mendapatkan kesempatan air suci dalam berwudhu. Sedang dalam masalah keduniaan maka disunnatkan mendahulukan orang lain seperti mendahulukan orang lain dalam menerima zakat dan lain-lain.
3.      Kaidah Fiqh Ketiga
اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
apabila antara yang halal dan yang haram berkumpul maka dimenangkan yang haram.”
        Pada kaidah tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk mendahulukan yang haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai satu masalah, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan, maka dua dalil itu dipilih yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat. Seperti ketetapan khalifah Utsman bin Affan ketika ditanya ketentuan mengawini dua saudara, yang satu berstatus merdeka dan yang lain berstatus budak sahaya. Dalam QS. An-Nisa’:22, tidak boleh mengumpulkan dua saudara wanita untuk dinikahi. Sedang dalam QS. An-Nisa’:23, memperbolehkannya asal yang satu menjadi budak sahaya, maka keputusan beliau adalah melarangnya, sesuai dengan kaidah di atas.
4.      Kaidah Fiqh Keempat
التابع تابع
“pengikut (hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”
Cabang dari kaidah ini adalah :
التابع لايفرد بالحكم
“pengikut itu tidak menyendiri di dalam hukum”
Contohnya : anak kambing di dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut.
Cabang Kedua:
التابع ساقط بسقوط المتبوع
“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Contohnya: tidak boleh mengawini saudara wanita istri, tapi jika istrinya telah dicerai maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang Ketiga :
التابع لايتقدم على المتبوع
Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”
Contohnya : tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang Keempat :
يغتفر فى التوابع مالا يغتفر فى غيرها
dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak, maka wakaf itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.
5.      Kaidah Fiqh Kelima
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”
Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I, bahwa kedudukan imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul Umar bin Khattab yang berbunyi “sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas menyangkut kebijakan pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia.
6.      Kaidah Keenam
الحدود تسقط بالشبهات
   hukuman had gugur bila masih meragukan (Syubhat)”
    Contohnya : hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikira    istrinya. Hal ini tidak dapat dijatuhkan had sebab hukumnya masih syubhat.
7.      Kaidah Ketujuh
الحريم له حكم ما هو حريم له
“yang menjaga sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga”
Contoh : wajib mencuci sebagian leher dan kepala ketika mencuci muka, sebagian lengan atas (sampai siku-siku), mencuci sebagian atas mata kaki dalam wudhu.
8.      Kaidah Kedelapan
اذاجتمع امران من جنس واحد لم يختلف مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالبا
                                    “apabila dua perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka yang satu dimasukkan kepada yang lain menurut kebiasaannya”
Contoh : seseorang yang berhadas kecil dan berhadas besar kemudian ia mandi untuk menghilangkan hadas besar, maka kedua hadas tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah tersebut sama, yang besar dapat mengikuti yang kecil, namun sebaliknya tidak. Demikian juga dengan seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis kemudian di tujuh hari pertama bulan syawal berpuasa, maka kedua puasa itu dianggap sah dan mempunyai dua pahala.
9.      Kaidah Kesembilan
اعمال الكلام اولى من اهماله
“mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya”
Contoh : seseorang mengatakan kepada istrinya “engkau saya talak, engkau saya talak” dengan tidak ada niatan dalam pengulangan itu, maka pengulangan itu dianggap ta’sis, yakni jatuhnya dua talak, bukan sebagai penguat talak satu.  
10.   Kaidah Kesepuluh
الخرج بالضمان
“berhak mendapatkan hasil disebabkan karena keharusan mengganti kerugian”
Contoh : seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi, sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
11.  Kaidah Kesebelas
الخروج من الخلاف مستحب
“keluar dari pertentangan itu diutamakan”
Contoh : membasuh atau mengusap sebagian rambut kepala dalam berwudu. Bagi Imam Syafi’I cukup mengusap sebagian kecil, sedang Imam Abu Hanifah memberi batasan minimal sepertiga rambut kepala, sedangkan Imam Malik mengharuskan keseluruhannya. Agar tidak terjadi kekhilafan maka terbaik mengikuti Imam Malik, karena itu berarti mengikuti pula pendapat Imam Syafi’I dan Imam Abu  Hanifah. Lagi pula kedua imam tersebut memberi hukum sunnat terhadap pengusapan keseluruhan.  
12.  Kaidah Fiqh Kedua Belas
الدفع ى من الرفعاقو
“menolak gugatan lebih kuat dari pada menggugat”
Contoh : untuk menjadi pemimpin memerlukan persyaratan-persyaratan. Maka lebih mudah menolak calon-calon yang tidak memenuhi syarat daripada menggugat pemimpin yang sudah diangkat.
13.  Kaidah Fiqh Ketiga Belas
الرخص لاتناط بالمعاصى
“keringanan-keringanan tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Contoh : tidak diperkenankan mengqashar atau menjamak shalat atau juga berbuka puasa di bulan ramadhan ketika dalam perjalanan menuju maksiat, misalnya untuk berjudi, bertemu dengan wanita atau lelaki yang tidak halal dengan tujuan berkhalwat dan lain-lain.
14.  Kaidah Keempat Belas
الرخص لاتناط بالشك
“keringanan-keringanan tidak dikaitkan dengan keragu-raguan”
Contoh : seseorang ragu seberapa jauh jarak yang dia tempuh dalam perjalanan, maka kondisi seperti ini ia tidak boleh menjamak atau mengqashar sholat.
15.  Kaidah Kelima Belas
الرضا بالشئ رضا بما بتولد منه
“Ridha terhadap sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu tersebut”
Contoh : seseorang ridha membeli rumah yang sudah rusak, maka dia juga harus ridha apabila rumah itu runtuh. Apabila ridha beragama Islam, maka harus melaksanakan kewajibannya.
16.  Kaidah Fiqh Keenam Belas
السؤال معاد فى الجواب
“pertanyaan itu terulang dalam jawaban”
Maksud dari kaidah ini adalah hukum dari jawaban itu terletak pada soalnya. Misalnya, seorang hakim bertanya kepada tergugat (suami) “apakah engkau telah menalak istrimu?” dijawab “ya”. Maka bagi istri telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.
17.  Kaidah Fiqh Ketujuh Belas
لا ينسب الى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض الحاجة الى البيان بيان
“perkataan tidak bisa disandarkan pada yang diam, tapi sikap diam pada hal yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan”
Kaidah tersebut menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan diamnya seseorang, kecuali ada qarinah, tanda-tanda atau alasan lain yang menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan juga. Contohnya, apabila seorang tergugat ditanya oleh hakim, dan dia diam saja, maka diperlukan bukti-bukti lain untuk menguatkan gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila seorang perawan yang diminta izinnya untuk dinikahkan lalu dia diam saja tanpa ada perubahan apa-apa ada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan persetujuannya.

18.  Kaidah Fiqh Kedelapan Belas
الفضيلة المتعلقة بذات العبادة اولى من المتعلقة بمكانها
“keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”
Misalnya : sholat sendirian (munfarid) di lingkungan Kakbah adalah lebih utama daripada di luar lingkungan Kakbah. Akan tetapi sholat di luar lingkungan Kakbah dengan berjamaah lebih utama daripada sholat sendirian di lingkungan Kakbah, begitu pula di masjid.
19.  Kaidah Fiqh Kesembilan Belas
الواجب لايترك الا لواجب
“sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula”
Contohnya : seorang istri berpuasa senin atau kamis, namun suaminya tidak menginginkan puasanya karena sebab-sebab tertentu, maka istri tersebut wajib meninggalkan puasanya untuk memenuhi keinginan suaminya.
20.  Kaidah Fiqh Kedua Puluh
ماحرم استعماله حرم اتخاذه
“apa  yang haram diambilnya haram pula diberikannya”
Kaidah di atas menetapkan bahwa tidak diperkenankan seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain, apabila diberikan maka ia termasuk menolong dan mendorong atas pekerjaan dosa dan diharamkan.

21.  Kaidah Fiqh Keduapuluh Satu
المشغول لا يشغل
“sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya”
Contohnya : apabila seseorang telah menggadaikan hartanya pada Bank Syari’ah misalnya, maka ia tidak bisa menggadaikan lagi kepada bank yang lain, atau menjualnya.
22.  Kaidah Fiqh Keduapuluh Dua
من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحرمانه
“barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contohnya : belum masuk waktunya sholat lalu ia sholat, atau belum waktunya berbuka ia berbuka, maka baik sholat maupun puasanya menjadi batal. Contoh lain adalah seorang ahli waris membunuh pewarisnya, maka ia tidak berhak atas warisan tersebut.
23. Kaidah Fiqh Keduapuluh Tiga
الولاية الخاصة اقوى من الولاية العامة
“kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekuasaan yang umum”
Contohnya : Camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada Gubernur, Ketua RT lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada kepala Desa, wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya daripada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.
Daftar Pustaka : 
        -   Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Dalam Hukum Islam Dalam          Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2011        
    - Usman, Mukhlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam : Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
       -   Majid, Abdul, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta: Kalam Mulia, 2008