KAIDAH-KAIDAH
FIQIH
(QAWA’ID FIQHIYAH)
( Disusun Oleh : H. AMRILSYAH LUBIS,S.PdI, MH )
I. PENGANTAR
Pentingnya peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah dari dahulu
sampai sekarang menjadikan motivasi generasi muslim untuk tetap mempelajarinya
secara mendalam. Para ulama menghimpun sejumlah
persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang
dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah
kaidah fiqh tersebut. Melalui kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang
bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan
lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama.
Sebagaimana telah diketahui bahwa kewajiban generasi islam dalam zaman
pembangunan masyarakat ini adalah berusaha untuk menegakkan masyarakat yang
diridhai Allah dengan cara menyebarkan fiqh Islam keseluruh bagian tanah air
Indonesia. Karena tidak dapat di pungkiri bahwa kemunduran fiqh islam dapat berdampak
pada kerusakan bagi masyarakat Islam.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh akan mengetahui benang merah yang
kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain
itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang
terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
2. PENGERTIAN QAW’ID
FIQHIYAH
Untuk mengetahui qawaid fiqhiyah, penulis akan menghadirkan
pengertiannya dalam arti etimologi maupun terminologi. Kaidah secara etimologi
diambil dari bahasa arab القاعدة yang artinya adalah
pondasi atau dasar. Sedangkan القواعد adalah bentuk jama’ dari القاعدة. Maka kaedah secara
etimologi mempunyai arti dasar-dasar. (Munawwir, 1138: 1997)
Al-jurjani mengungkapkan makna terminologinya adalah sebuah hukum atau perkara
universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan masalah yang masuk dalam
cakupan pembahasannya. Syaikh Muhammad bin sholih al utsaimin berkata dalam
syarah ushul min ilmil ushul bahwasannya fiqih secara bahasa terambil dari kata
الفقه yang artinya adalah faham.sedangkan secara istilah adalah
mengetahui hukum-hukum syar’i yangberhubungan dengan amal perbuatan hamba
berdasarkan pada dalil-dalilnya secara terperinci.
Dr Muhammad
shidqi al burnu menyimpulkan bahwa kaedah fiqih adalah hukum atau pondasi yang
bersifat umum yang bisa untuk memahami permasalahan fiqih yang tercangkup dalam
pembahasannya. ( Sabiq, 2009)
Kaidah fiqih juga disimpulkan oleh penulis pengertiannya yaitu kaidah-kaidah
yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci
menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah fiqih juga merupakan kaidah atau
pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu
masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan
suatu kaidah.
3. ISTILAH-ISTILAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN QAWA’ID
FIQHIYAH
Ada beberapa istilah yang
berkenaan dengan qawaid fiqhiyah yang terkadang membuat beberapa orang
mengalami kebingungan dan kekeliruan.
Diantaranya adalah Al-asybah wan nadzair, dzawabitul
fiqh dan qawaid ushuliyah
A.
Antara qawaidul fiqh dan asybah wan nadzair
Bukanlah suatu kebetulan bila kitab-kitab kaidah fiqh dinamakan asybah wan
nadzoir, sebagaimana kitab asybah wan nadzoir karya Ibnu Al-Wakil,
Tajud din Subki, Syuyuthi dan juga Ibnu
Nujaim, namun diantara keduanya mempunyai hubungan,
Adapun
kitab-kitab asybah wan nadzoir lebih umum dari pada kitab-kitab qawaid
fiqhiyah. Dan kitab-kitab qawaid fiqhiyah lebih husus dari yang lainnya.
Nadwa berkata: ketika kami meneliti karangan yang berjudul “Asybah wan Nadzoir
fil Fiqhi” dari kitab milik Ibnu
Al-Wakil As-Syafii (716 H) sampai kitab karya ibnu Nujaim Al-Hanafi (970 H), kami menemui beberapa dari karangan
tersebut mencakup tentang masalah fiqh dan ushul fiqh dan terkadang juga
mengenai sebagian ilmu theologi.
(موسى، إحسان. 1422هـ)
B. Antara qawaid fiqhiyah dan kaedah
ushuliyah
Persamaan kaidah fiqih dengan kaidah ushul fiqih karena keduanya adalah perkara
yang berhubungan denganhukum-hukum syariat. Adapun
kaidah fiqih berguna untuk mengetahui hukum-hukum yang praktis. Kaidah-kaidah
ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkam secara
benar.
Kaidah-kaidah ushuliyah yaitu ketentuan global yang
memungkinkan Seperti jika kalian berkata: “perintah menandakan kewajiban” ini disebut
qaidah, dan apabila kalian menemukan perintah di dalam al-quran ataupun hadits
: seperti kerjakanlah sholat (أقيموا
الصلاة) bayarlah zakat (آتوا
الزكاة), maka ini disebut perintah, adapun kaidah adalah الآمر للوجوب (perintah menandakan suatu kewajiban) dan
inilah yang disebut kaidah ushuliyah, dan kaidah usuliah ini selalu berhubungan
dengan pemahaman dalil Adapun mengenai kaidah fiqih dipelajari setelah belajar
fikih secara sempurna, karena kaidah fikih seperti ringkasan yang dengan
ringkasan tersebut bisa mencakup seluruh masalah manusia dalam fikih. Dan setelah membaca fiqih dengan lengkap mengenai
ibadah dan muamalah, kaidah syari’ah, bahwa amal itu tergantung niatnya sama
seperti Al umur bimaqosidiha (segala sesuatu tergantung pada maqsudnya) perhatikan:
Al umur bimaqosidiha ini tidak hanya pada wudhu, sholat, zakat, haji, dan puasa
saja namun juga mencakup semua ibadah. Seperti ketika berkata: wadhu adalah iabadah, ibadah tersebut diharuskan
niyat. Maka amal perbuatan harus disertai niat. Maka hal tersebut merupakan
pembahasan masalah fiqih berbeda dengan ushul fiqih. (Hartati.
2012)
Jika
kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah
fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut
selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah
memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqh
merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga
kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah,
yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh
mengijtihadkan suatu hukum.
Maka penulis
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu. Sedangkan kaidah
fikih muncul setelah furu’.
C. Antara qawaid fiqhiyah dan dhawabith fiqhiyah
Kemiripan antara kaedah fiqhiyah dengan dhabit perlu dibedakan. Dzabit lebih
husus, adapun Kaidah fiqhiyah mencakup berbagai bab fiqh, berbeda dengan dzabit
yang hanya mencakup satu bab saja. Seperti contoh (اليقين
لا يزول بالشك) atau(الشك يُدْرَأ باليقين)؛ dalam kaidah tersebut berfungsi pada masalah fiqh mengenai hal yang
berkaitan dengan yakin atau ragu, maka kaidah tersebut dapat diterapkan dalam
beberapa bab fiqih seperti bersuci, sholat, puasa, zakat dan lain-lain.
Contoh dzabith adalah
(كل
ما يُعْتَبَر في سجود الصلاة؛ يُعْتَبَر في سجود التلاوة) maka, hal tersebut hanya husus dalam
bahasan sholat, bukan pada bab fiqhih yang lainnya. (صالح
. 1420 هـ ـ 2000 م).
4. FAEDAH QAWA’IDAH
FIQHIYAH
Banyak sekali faedah-fedah yang dapat diambil dari
kai77dah fiqih ini,dua diantaranya yaitu:
A. Sebuah kaedah fiqih yang bisa
digunakan untuk mengetahui banyak permasalahan fiqih yang
tercangkup dalam pembahasannya.dan ini akan sangat memudahkan seorang penuntut
ilmu untuk mengetahui hokum-hukum fiqih tanpa harus menghafal sebuah
permasalahan satu persatu. Berkata imam Al qorrofi : “barang siapa yang
menguasai fiqih lewat penguasaan kaedah-kaedahnya,maka dia tidak butuh untuk
menghafal semua permasalahannya satu persatu karena sudah tercangkup dalam
keumuman kaedah tersebut.
B. Dr Muhammad shidqi berpendapat bahwa
penguasaan kaidah fiqih akan sangat membantu seseorang dalam memberikan sebuah
hukum yang kontemporer dan belum pernah terjadi sebelumnya dengan cara yang
mudah. ( Sabiq, 2009) Penulis menyimpulkan dari dua manfaat tadi bisa difahami
bahwa kaedah fiqih sangat diperlukan sangat penting untuk kaum muslim,untuk itu
kaum muslim perlu mengkaji lebih dalam tentang kaedah fiqih,agar dapat lebih bijak dalam memutuskan suatu
hokum fiqih jika terdapat masalah didalamnya.
5. SUMBER
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah-kaidah fiqih bila ditinjau dari sumbernya, maka terbagi menjadi tiga yaitu
kaedah fiqih yang diambil dari nash Al qur’an dan As Sunah, Kaedah fiqih yang
teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah dan kaedah
fiqih yang diambil dari ijtihat para ulama’.pembahasan ini akan dibahas secara
rinci sebagai berikut:
A. Kaidah fiqih yang teksnya terambil langsung dari nash Al qur’an dan As
Sunah. Misalnya firman Allah ta’ala:
ولا تأكلوا أموا لكم بينكم بالباطل
<188>
"Dan
janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang bathil.”(QS.Al
Baqoroh: 188)
Ayat ini menunjukkan sebuah
kaidah tentang haramnya semua jenis transaksi dan perbuatan yang akan berakibat
memakan harta orang lain dengan cara yang tidak syar’i.
Adapun missal kaedah fiqih
yang terambil dari sabda rosuluallah SAW adalah:
لا ضرر ولا ضرار
"Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri
sendiri maupun orang lain.”
Hadits ini merupakan kaedah umum tentang berbagai
hal,mulai dari masalah makanan pergaulan,muamalah dan lainnya.bahwasannya semua
itu kalau mengakibatan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain maka
diharamkan.
B.
Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As
Sunah,namun kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as Sunah.
Misalnya adalah sebuah kaedah
yang sangat masyhur:
اليقين لا يزول بالشكّ
"Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan
sebuah keragu-raguan.”
Kaadah ini
berdasarkan kepada hadits, diantaranya adalah hadits abu sa’id Al hudri:
إذا شكّ أحدكم في صلاته فلم يدر كم صلّى أثلاثا أم أربعا
فليطرح الشكّ و ليبن على ما استيقن
"Dari Abu Said al Khudri berkata: “ Rosululloh
bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan
dia tidak mengetahui sudah berapa rokaat dia sholat, apakah tiga ataukah empat
rokaat dia sholat,maka hendaklah dia membuang keraguan tersebut dan
berpeganglah pada sesuatu yang meyakinkan.”(HR.Muslim)
C. Kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’.dan ini biasanya didasarkan atas sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah (maksud dan tujuan dari sebuah hu kum syar’i ) atau yang lainnya. ( Sabiq, 2009)
6. HUKUM BERHUJJAH DENGAN QAWAID FIQHIYAH
C. Kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’.dan ini biasanya didasarkan atas sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah (maksud dan tujuan dari sebuah hu kum syar’i ) atau yang lainnya. ( Sabiq, 2009)
6. HUKUM BERHUJJAH DENGAN QAWAID FIQHIYAH
Apakah kaidah-kaidah fiqih ini boleh dijadikan sebagai
sebuah hujjah? Jawabannya: masalah ini perlu diperinci sesuai
dengan perincian sumber kaidah fiqih.
Pertama:jika kaidah itu teksnya langsung
terambil dari nash al-qur’an dan as sunah as shohihah,maka tidak diragukan lagi
bahwa kaedah itu adalah hujjah,karena berhujjah dengan kaidah tersebut sama
saja dengan berhujjah dengan nash yang menjadi sandaran utamanya.
Kedua: jika kedua itu teksnya tidak langsung terambil dari nash, namun hanya disusun oleh para ulama’, hanya saja kandungan maknanya berdasarkan pada apa yang terdapat dalam al-quran dan as sunnah,maka kaidah semacam inipun hujjah, karena dengan berhujjah dengan kaidah tersebut, sama saja dengan berhujjah dengan berbagai dalil yang mendasarinya.
Kedua: jika kedua itu teksnya tidak langsung terambil dari nash, namun hanya disusun oleh para ulama’, hanya saja kandungan maknanya berdasarkan pada apa yang terdapat dalam al-quran dan as sunnah,maka kaidah semacam inipun hujjah, karena dengan berhujjah dengan kaidah tersebut, sama saja dengan berhujjah dengan berbagai dalil yang mendasarinya.
Ketiga: adapun kaidah fiqih yang tersusun
berdasarkan ijtihat para ulama’ atau berdasarkan dalil qiyas, maqoshid
syar’iyyah maupun lainnya,maka hukumnya adalah hukum berdalil dengan asal dari
kaedah tersebut.( Sabiq, 2009)
7. SEJARAH SINGKAT ILMU QAWA’ID FIQHIYAH
Sejarah semua ilmu-ilmu syar’i dimulai sejak zaman
rosulullah SAW karena memang zaman itulah zaman turunnya wahyu dan tasyri’.
Kaidah fiqih dimulai dengan adanya beberapa ayat dan hadits rosuluallah SAW
yang bisa dianggap sebagai sebuah kaedah yang mencangkup banyak permasalahan
fiqih. Sebagai sebuah contoh adalah beberapa ayat al-quran , diantaranya:
وأحلّ الله البيع وحرّم الرّبوا (275)
“Dan
Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba”
Adapun hadist Rosulullah SAW
diantaranya:
البيّنة على المدعي
واليمين على من انكر
“orang yang menuntut harus mempunyai bukti,sedangkan yang mengingkari cukup bersumpah”
“orang yang menuntut harus mempunyai bukti,sedangkan yang mengingkari cukup bersumpah”
Lalu kalau
kita beranjak kepada zaman sahabat,maka akan kita temukan atsar beberapa
sahabat,yang bisa dianggap sebagai sebuah kaedah fiqih.
Contohnya adalah apa yang
dikatakan oleh umar bin khothob:
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Hak-hak itu tergantung pada
syaratnya.” (HR.bukhori)
Selanjutnya hal-hal semacam
ini juga ditemukan dari perkataan para tabi’in dan para ulama’ setelahnya.
Misalnya apa yang pernah
dikatakan oleh Imam Abu Yusuf Al-Qodli:
التعزير إلى الإمام على قدر عظم الجرم
و صغره
"Hukuman
ta’zir itu diserahkan kepada hakim,tergantung dari besar dan kecilnya tindakan
kriminal.”
كلّ من مات من المسلمين لا وارث له
فماله لبيت المال
“Siapa saja dari kalangan
ummat islam yang meninggal dunia sedangkan ia tidak meninggalkan ahli
waris,maka hartanya untuk baitul mal.”
Bagaimana
pula kalau kita cermati perkataan imam syafi’i dalam beberapa kitabnya maka
akan kita dapati bahwa beliau mengungkapkan sebuah kaedah fiqih,misalnya:
الرخص لايتعدي بها مواضعها
“ Sebuah keringanan syar’i itu
tidak bisa melampaui tempat berlakunya.” (Al umm 1/80)
Imam ahmad berkata :
كل ما جاز فيهالبيع تجوز فيه الهبة
والصدقة و الرهن
“Semua yang
boleh diperjual belikan maka boleh untuk dijadikan bahan hibah, shodaqoh dan
gadai.”(Masail Imam Ahmad oleh Imam abu dawud hal :203)
Dan masih banyak lagi dari
pada ulama’ islam.
Namun kaedah fiqih baru
dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu yang tersendiri sekitar abad keempat
hijriyah kemudian berlanjut pada abad-abad setelahnya.
Adapun yang
pertama kali dianggap mengumpulkan kaedah-kaedah fiqhiyah adalah imam abu thohir ad dabbas beliau adalah salah
seorang ulama’ madzhab hanafi pada abad keempat hijriyah, sebagaimana yang
disyaratkan oleh imam suyuti,al Ala’I dan ibnu nujaim dalam beberapa kitab
qowaid fiqhiyah mereka.
Kemudian diteruskan oleh imam karkhi
(beliau wafat tahun 340H) yang mana beliau memiliki sebuah risalah yang
mengandung tiga puluh Sembilan kaedah fiqhiyah.kemudian setelah itu para ulama’
berlomba untuk menulis dalam bidang ini sehingga banyak didapatkan kitab yang
berhubungan dan membahas kaedah fiqih. (Lihat Al wajiz fi adhohi qowaid Al fiqh al kulliyah oleh Dr
Muhammad Shidqi al burnu hal: 44, Jamharoh al qowaid al fiqhiyah oleh Dr Ali
Ahmad An- Nadawi 1/29 dan selanjutnya ). ( Sabiq,
2009)
8. MACAM-MACAM QAWA’ID
FIQHIYAH
Macam-macam kaedah fiqih bisa
ditinjau dari tiga sisi:
Pertama: ditinjau dari sumbernya.
Kedua : ditinjau dari keluasaan pembahsannya.
Ketiga: ditinjau dari apakah kaidah tersebut disepakati atau
diperselisihkan oleh para ulama’.
Adapun yang pertama,maka telah
dibahas pada sumber kaidah fiqih.
Adapun yang kedua: Maka kaidah fiqih kalau
ditinjau dari luas dan sempitnya pembahasan dan permasalahan, terbagi menjadi
tiga macam:
A. Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam.
A. Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam.
Kaedah ini biasanya disebut
dengan القواعد الكلية الكبري
Jumlah dari kaedah ini yang masyhur dikalangan ulama’ ada lima kaedah,namun
sebagian ahlul ilmi menambahkan satu lagi
sehingga jumlahnya ada enam. Kaidah –kaidah ini adalah:
a) إنما الأعمال بالنيات
"Amal
perbuatan itu tergantung niatnya”
b) اليقين لا يزول بالشكّ
“Sesuatu yang yakin tidak bisa
hilang dengan keraguan”
c) المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan membawa kemudahan”
d) لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh
membuat sesuatu yang membahayakan”
e) العادة محكمة
“Sebuah adat
kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum”
f) إعمال الكلام أولى من إهماله
“memfungsikan
ucapan lebih baik dari pada menghilangkannya”
B. Kaidah yang tidak masuk dalam kaedah besar di atas, dan kaidah ini terbagi menjadi dua, yaitu:
B. Kaidah yang tidak masuk dalam kaedah besar di atas, dan kaidah ini terbagi menjadi dua, yaitu:
Pertama : kaidah-kaidah yang
menjadi cabang dari kaidah besar diatas.
Contohnya:
الضرورات تبيح المحذورات
“Kondisi
darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang”
Kedua:
kaidah-kaidah yang bukan merupakan cabang dari beberapa kaidah besar di atas,
namun juga mencangkup banyak permasalahan fiqih meskipun tidak seluas yang
keenam kaidah di atas.
Contohnya:
التابع تابع
“ Sesuatu
yang hanya mengikuti (lainnya) maka
hukumnya pun pengikut lainnya”.
C. Kaidah yang hanya memiliki kawasan permasalahan yang sempit.yang biasanya hanya berlaku untuk satu atau beberapa bab saja.
C. Kaidah yang hanya memiliki kawasan permasalahan yang sempit.yang biasanya hanya berlaku untuk satu atau beberapa bab saja.
Misalnya:
الأصل في الماء الطهارة
“Asal hukum air itu suci.”
Kaidah ini hanya pada
permasalahan air saja dan tidak berlaku pada yang lainnya.
Adapun yang
ketiga:
yaitu
pembagian kaedah fiqih ditinjau dari kesepakatan atau perselisihan para ulama’,
maka terbagi menjadi dua:
A. Kaedah yang disepakati oleh para ulama
A. Kaedah yang disepakati oleh para ulama
Di antaranya adalah
kaidah-kaidah besar serta banyak kaidah lainnya.
B. Kaedah fiqih madzab tertentu saja.
B. Kaedah fiqih madzab tertentu saja.
Dan ini
adalah beberapa kaidah yang ditetapkan oleh para ulama’ untuk berbagai masalah
yang terdapat dalam madzhab mereka, namun diselisihi oleh madzhab ulama’
lainnya. ( Sabiq, 2009)
9. CARA
ULAMA’ DALAM MENYUSUN QAW’ID FIQHIYAH
Para ulama’ melakukan banyak cara dalam
penyusunan urutan kaidah-kaidah salah satunya dimulai dengan kaidah-kaidah
besar kemudian diikuti dengan beberapa kaidah kecil yang tergabung padanya,
kemudian selain itu ada pula yang dimulai dengan kaedah yang terambil dari nash
alquran dan as sunah, bahkan ada juga yang menulisnya tanpa ada urutan yang
jelas.
10. PENUTUP
Terdapat banyak pengertian dari qawaid fiqhiyah dan dapat disimpulkan
bahwa pengertiannya yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan
masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah
fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan
(menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah
yang serupa dengan suatu kaidah. Perbedaan antara Al-asybah wan nadzair, dzawabitul fiqh
dan qawaid ushuliyah adalah jika asybah
wan nadzair lebih umum dari qawaid fiqhiyah, kemudian terdapat beberapa perbedaan antara perbedaan qawaid
fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan dhabith fiqhiyah
lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid
fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith
fiqhiyah. Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqh ialah , qawaid
ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang
dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid
fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh
yang berada di bawah cakupannya semata. Untuk macam-macam kaidah fiqih bisa
ditinjau dari tiga sisi: ditinjau dari sumbernya, dari keluasaan pembahsannya
dan ditinjau dari apakah kaedah tersebut disepakati atau diperselisihkan oleh
para ulama’. Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam yaitu
إنما الأعمال بالنيات، اليقين لا يزول بالشك، المشقة
تجلب التيسير، لا ضرر ولا ضرار، العادة محكمة،إعمال الكلام أولى من إهماله
DAFTARPUSTAKA
صالح . 1420 هـ ـ 2000 م، مجموعة الفوائد البهية على
منظومة القواعد البهية. المكتبة الشاملة
موسى، إحسان. 1422هـ. ورقة بحثية
بعنوان:دراسة السنة النبوية في جامعة العلوم.المكتبة الشاملة
Sabiq, Ahmad
bin Abdul latief Abu Yusuf. 2009. Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih Islam.
Purwodadi Sedayu Gresik: Pustaka Al-furqon
Hartati. 2012. Hakikat Qawaid Fiqhiyah. (online). (www.abdulhelim.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html. Diakses pada tanggal 19/02/13)
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif
Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Muttafaq 'Alaih
Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah
yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula
untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas
hukumna di nash. Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan di dalam menemukan
hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan
memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar
di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.
Di bawah ini diuraikan beberapa kaidah
fiqh yang terdapat di dalam beberapa kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup
pula kepada berbagai bidang fiqh, antara lain:
1. Kaidah
Fiqh Pertama
الاجتهاد لاينقص بالاجتهاد
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa
suatu hasil ijtihad di masa lalu tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru
dalam kasus yang sama. Seperti yang dikatakan oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah yang kami putuskan pada masa
lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Contoh dari kaidah di atas adalah bila
seseorang menginginkan sholat akan tetapi tidak menemukan air, maka ia
diperbolehkan untuk bertayamum (ijtihad I), seusai sholat ia menemukan air,
maka ia tidak wajib mengulang sholatnya (ijtihad II). Contoh lain adalah
seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku
kejahatan dengan dijatuhi hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama,
datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur
hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berbeda dengan pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan
keadilan yang berbeda, tapi pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda,
maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan
lain-lain.
2. Kaidah
Fiqh Kedua
الايثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب
“mengutamakan
orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi”
Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak
boleh mendahulukan orang lain dalam hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan
barisan pertama dalam sholat, meminang seorang wanita dan mendapatkan
kesempatan air suci dalam berwudhu. Sedang dalam masalah keduniaan maka
disunnatkan mendahulukan orang lain seperti mendahulukan orang lain dalam
menerima zakat dan lain-lain.
3. Kaidah
Fiqh Ketiga
اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
“apabila antara
yang halal dan yang haram berkumpul maka dimenangkan yang haram.”
Pada kaidah tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk mendahulukan yang
haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai satu
masalah, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan, maka dua dalil
itu dipilih yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat. Seperti ketetapan
khalifah Utsman bin Affan ketika ditanya ketentuan mengawini dua saudara, yang
satu berstatus merdeka dan yang lain berstatus budak sahaya. Dalam QS.
An-Nisa’:22, tidak boleh mengumpulkan dua saudara wanita untuk dinikahi. Sedang
dalam QS. An-Nisa’:23, memperbolehkannya asal yang satu menjadi budak sahaya,
maka keputusan beliau adalah melarangnya, sesuai dengan kaidah di atas.
4.
Kaidah Fiqh Keempat
التابع تابع
“pengikut
(hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”
Cabang dari kaidah ini adalah :
التابع لايفرد بالحكم
“pengikut itu
tidak menyendiri di dalam hukum”
Contohnya : anak kambing di dalam perut tidak boleh
dijual dengan sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing
tersebut.
Cabang Kedua:
التابع ساقط بسقوط المتبوع
“pengikut
menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Contohnya: tidak boleh mengawini saudara wanita istri,
tapi jika istrinya telah dicerai maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang Ketiga :
التابع لايتقدم على المتبوع
“Pengikut itu
tidak mendahului yang diikuti”
Contohnya : tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang Keempat :
يغتفر فى التوابع مالا يغتفر فى غيرها
“dapat dimaafkan
pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya
sudah rusak, maka wakaf itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang
mengikuti kebun.
5. Kaidah
Fiqh Kelima
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“tindakan
imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”
Kaidah tersebut bersumber dari perkataan
Imam Syafi’I, bahwa kedudukan imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya
dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul
Umar bin Khattab yang berbunyi “sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta
Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas
menyangkut kebijakan pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia.
6. Kaidah
Keenam
الحدود تسقط بالشبهات
“hukuman had gugur bila masih meragukan
(Syubhat)”
Contohnya : hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikira istrinya. Hal ini tidak dapat dijatuhkan
had sebab hukumnya masih syubhat.
7. Kaidah
Ketujuh
الحريم له حكم ما هو حريم له
“yang menjaga
sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga”
Contoh : wajib mencuci sebagian leher
dan kepala ketika mencuci muka, sebagian lengan atas (sampai siku-siku),
mencuci sebagian atas mata kaki dalam wudhu.
8. Kaidah Kedelapan
اذاجتمع امران من جنس واحد لم يختلف
مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالبا
“apabila dua
perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka yang satu
dimasukkan kepada yang lain menurut kebiasaannya”
Contoh : seseorang yang
berhadas kecil dan berhadas besar kemudian ia mandi untuk menghilangkan hadas
besar, maka kedua hadas tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah tersebut
sama, yang besar dapat mengikuti yang kecil, namun sebaliknya tidak. Demikian
juga dengan seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis kemudian di tujuh hari
pertama bulan syawal berpuasa, maka kedua puasa itu dianggap sah dan mempunyai
dua pahala.
9. Kaidah
Kesembilan
اعمال الكلام اولى من اهماله
“mengamalkan
suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya”
Contoh : seseorang
mengatakan kepada istrinya “engkau saya talak, engkau saya talak” dengan tidak
ada niatan dalam pengulangan itu, maka pengulangan itu dianggap ta’sis, yakni
jatuhnya dua talak, bukan sebagai penguat talak satu.
10. Kaidah Kesepuluh
الخرج بالضمان
“berhak
mendapatkan hasil disebabkan karena keharusan mengganti kerugian”
Contoh : seekor binatang dikembalikan
oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran
atas penggunaan binatang tadi, sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi
hak pembeli.
11. Kaidah Kesebelas
الخروج من الخلاف مستحب
“keluar dari
pertentangan itu diutamakan”
Contoh : membasuh atau mengusap sebagian
rambut kepala dalam berwudu. Bagi Imam Syafi’I cukup mengusap sebagian kecil,
sedang Imam Abu Hanifah memberi batasan minimal sepertiga rambut kepala,
sedangkan Imam Malik mengharuskan keseluruhannya. Agar tidak terjadi kekhilafan
maka terbaik mengikuti Imam Malik, karena itu berarti mengikuti pula pendapat
Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah. Lagi
pula kedua imam tersebut memberi hukum sunnat terhadap pengusapan
keseluruhan.
12. Kaidah Fiqh Kedua Belas
الدفع ى من الرفعاقو
“menolak
gugatan lebih kuat dari pada menggugat”
Contoh : untuk menjadi pemimpin
memerlukan persyaratan-persyaratan. Maka lebih mudah menolak calon-calon yang
tidak memenuhi syarat daripada menggugat pemimpin yang sudah diangkat.
13. Kaidah Fiqh Ketiga Belas
الرخص لاتناط بالمعاصى
“keringanan-keringanan
tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Contoh : tidak diperkenankan mengqashar
atau menjamak shalat atau juga berbuka puasa di bulan ramadhan ketika dalam
perjalanan menuju maksiat, misalnya untuk berjudi, bertemu dengan wanita atau
lelaki yang tidak halal dengan tujuan berkhalwat dan lain-lain.
14. Kaidah Keempat Belas
الرخص لاتناط بالشك
“keringanan-keringanan
tidak dikaitkan dengan keragu-raguan”
Contoh : seseorang ragu seberapa jauh
jarak yang dia tempuh dalam perjalanan, maka kondisi seperti ini ia tidak boleh
menjamak atau mengqashar sholat.
15. Kaidah Kelima Belas
الرضا بالشئ رضا بما بتولد منه
“Ridha
terhadap sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu
tersebut”
Contoh : seseorang ridha membeli rumah
yang sudah rusak, maka dia juga harus ridha apabila rumah itu runtuh. Apabila
ridha beragama Islam, maka harus melaksanakan kewajibannya.
16. Kaidah Fiqh Keenam Belas
السؤال معاد فى الجواب
“pertanyaan
itu terulang dalam jawaban”
Maksud dari kaidah ini adalah hukum dari
jawaban itu terletak pada soalnya. Misalnya, seorang hakim bertanya kepada
tergugat (suami) “apakah engkau telah menalak istrimu?” dijawab “ya”. Maka bagi
istri telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.
17. Kaidah Fiqh Ketujuh Belas
لا ينسب الى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض
الحاجة الى البيان بيان
“perkataan
tidak bisa disandarkan pada yang diam, tapi sikap diam pada hal yang
membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan”
Kaidah tersebut
menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan diamnya
seseorang, kecuali ada qarinah, tanda-tanda atau alasan lain yang
menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan juga.
Contohnya, apabila seorang tergugat ditanya oleh hakim, dan dia diam saja, maka
diperlukan bukti-bukti lain untuk menguatkan gugatan penggugat. Akan tetapi,
apabila seorang perawan yang diminta izinnya untuk dinikahkan lalu dia diam
saja tanpa ada perubahan apa-apa ada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan
persetujuannya.
18. Kaidah Fiqh Kedelapan Belas
الفضيلة المتعلقة بذات العبادة اولى من
المتعلقة بمكانها
“keutamaan
yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan
dengan tempatnya”
Misalnya : sholat sendirian (munfarid)
di lingkungan Kakbah adalah lebih utama daripada di luar lingkungan Kakbah.
Akan tetapi sholat di luar lingkungan Kakbah dengan berjamaah lebih utama
daripada sholat sendirian di lingkungan Kakbah, begitu pula di masjid.
19. Kaidah Fiqh Kesembilan Belas
الواجب لايترك الا لواجب
“sesuatu yang
wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula”
Contohnya : seorang istri berpuasa senin
atau kamis, namun suaminya tidak menginginkan puasanya karena sebab-sebab tertentu,
maka istri tersebut wajib meninggalkan puasanya untuk memenuhi keinginan
suaminya.
20. Kaidah Fiqh Kedua Puluh
ماحرم استعماله حرم اتخاذه
“apa yang haram diambilnya haram pula
diberikannya”
Kaidah di atas menetapkan bahwa tidak
diperkenankan seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain, apabila
diberikan maka ia termasuk menolong dan mendorong atas pekerjaan dosa dan
diharamkan.
21. Kaidah Fiqh Keduapuluh Satu
المشغول لا يشغل
“sesuatu yang
sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek
perbuatan lainnya”
Contohnya : apabila seseorang telah
menggadaikan hartanya pada Bank Syari’ah misalnya, maka ia tidak bisa
menggadaikan lagi kepada bank yang lain, atau menjualnya.
22. Kaidah Fiqh Keduapuluh Dua
من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحرمانه
“barangsiapa
yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapat
sesuatu tersebut”
Contohnya : belum masuk waktunya sholat
lalu ia sholat, atau belum waktunya berbuka ia berbuka, maka baik sholat maupun
puasanya menjadi batal. Contoh lain adalah seorang ahli waris membunuh
pewarisnya, maka ia tidak berhak atas warisan tersebut.
23. Kaidah Fiqh Keduapuluh Tiga
الولاية الخاصة اقوى من الولاية العامة
“kekuasaan
yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekuasaan yang umum”
Contohnya : Camat lebih kuat
kekuasaannya dalam wilayahnya daripada Gubernur, Ketua RT lebih kuat
kekuasaannya dalam wilayahnya daripada kepala Desa, wali nasab lebih kuat
kekuasaannya terhadap anaknya daripada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.
Daftar Pustaka :
- Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih : Kaidah-Kaidah Dalam Hukum Islam
Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2011
- Usman, Mukhlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam :
Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002
- Majid, Abdul, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih,
Jakarta: Kalam Mulia, 2008
KAIDAH-KAIDAH
FIQIH
(QAWA’ID FIQHIYAH)
( Disusun Oleh : H. AMRILSYAH LUBIS,S.PdI, MH )
I. PENGANTAR
Pentingnya peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah dari dahulu
sampai sekarang menjadikan motivasi generasi muslim untuk tetap mempelajarinya
secara mendalam. Para ulama menghimpun sejumlah
persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang
dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah
kaidah fiqh tersebut. Melalui kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang
bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan
lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama.
Sebagaimana telah diketahui bahwa kewajiban generasi islam dalam zaman
pembangunan masyarakat ini adalah berusaha untuk menegakkan masyarakat yang
diridhai Allah dengan cara menyebarkan fiqh Islam keseluruh bagian tanah air
Indonesia. Karena tidak dapat di pungkiri bahwa kemunduran fiqh islam dapat berdampak
pada kerusakan bagi masyarakat Islam.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh akan mengetahui benang merah yang
kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain
itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang
terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
2. PENGERTIAN QAW’ID
FIQHIYAH
Untuk mengetahui qawaid fiqhiyah, penulis akan menghadirkan
pengertiannya dalam arti etimologi maupun terminologi. Kaidah secara etimologi
diambil dari bahasa arab القاعدة yang artinya adalah
pondasi atau dasar. Sedangkan القواعد adalah bentuk jama’ dari القاعدة. Maka kaedah secara
etimologi mempunyai arti dasar-dasar. (Munawwir, 1138: 1997)
Al-jurjani mengungkapkan makna terminologinya adalah sebuah hukum atau perkara
universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan masalah yang masuk dalam
cakupan pembahasannya. Syaikh Muhammad bin sholih al utsaimin berkata dalam
syarah ushul min ilmil ushul bahwasannya fiqih secara bahasa terambil dari kata
الفقه yang artinya adalah faham.sedangkan secara istilah adalah
mengetahui hukum-hukum syar’i yangberhubungan dengan amal perbuatan hamba
berdasarkan pada dalil-dalilnya secara terperinci.
Dr Muhammad
shidqi al burnu menyimpulkan bahwa kaedah fiqih adalah hukum atau pondasi yang
bersifat umum yang bisa untuk memahami permasalahan fiqih yang tercangkup dalam
pembahasannya. ( Sabiq, 2009)
Kaidah fiqih juga disimpulkan oleh penulis pengertiannya yaitu kaidah-kaidah
yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci
menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah fiqih juga merupakan kaidah atau
pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu
masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan
suatu kaidah.
3. ISTILAH-ISTILAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN QAWA’ID
FIQHIYAH
Ada beberapa istilah yang
berkenaan dengan qawaid fiqhiyah yang terkadang membuat beberapa orang
mengalami kebingungan dan kekeliruan.
Diantaranya adalah Al-asybah wan nadzair, dzawabitul
fiqh dan qawaid ushuliyah
A.
Antara qawaidul fiqh dan asybah wan nadzair
Bukanlah suatu kebetulan bila kitab-kitab kaidah fiqh dinamakan asybah wan
nadzoir, sebagaimana kitab asybah wan nadzoir karya Ibnu Al-Wakil,
Tajud din Subki, Syuyuthi dan juga Ibnu
Nujaim, namun diantara keduanya mempunyai hubungan,
Adapun
kitab-kitab asybah wan nadzoir lebih umum dari pada kitab-kitab qawaid
fiqhiyah. Dan kitab-kitab qawaid fiqhiyah lebih husus dari yang lainnya.
Nadwa berkata: ketika kami meneliti karangan yang berjudul “Asybah wan Nadzoir
fil Fiqhi” dari kitab milik Ibnu
Al-Wakil As-Syafii (716 H) sampai kitab karya ibnu Nujaim Al-Hanafi (970 H), kami menemui beberapa dari karangan
tersebut mencakup tentang masalah fiqh dan ushul fiqh dan terkadang juga
mengenai sebagian ilmu theologi.
(موسى، إحسان. 1422هـ)
B. Antara qawaid fiqhiyah dan kaedah
ushuliyah
Persamaan kaidah fiqih dengan kaidah ushul fiqih karena keduanya adalah perkara
yang berhubungan denganhukum-hukum syariat. Adapun
kaidah fiqih berguna untuk mengetahui hukum-hukum yang praktis. Kaidah-kaidah
ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkam secara
benar.
Kaidah-kaidah ushuliyah yaitu ketentuan global yang
memungkinkan Seperti jika kalian berkata: “perintah menandakan kewajiban” ini disebut
qaidah, dan apabila kalian menemukan perintah di dalam al-quran ataupun hadits
: seperti kerjakanlah sholat (أقيموا
الصلاة) bayarlah zakat (آتوا
الزكاة), maka ini disebut perintah, adapun kaidah adalah الآمر للوجوب (perintah menandakan suatu kewajiban) dan
inilah yang disebut kaidah ushuliyah, dan kaidah usuliah ini selalu berhubungan
dengan pemahaman dalil Adapun mengenai kaidah fiqih dipelajari setelah belajar
fikih secara sempurna, karena kaidah fikih seperti ringkasan yang dengan
ringkasan tersebut bisa mencakup seluruh masalah manusia dalam fikih. Dan setelah membaca fiqih dengan lengkap mengenai
ibadah dan muamalah, kaidah syari’ah, bahwa amal itu tergantung niatnya sama
seperti Al umur bimaqosidiha (segala sesuatu tergantung pada maqsudnya) perhatikan:
Al umur bimaqosidiha ini tidak hanya pada wudhu, sholat, zakat, haji, dan puasa
saja namun juga mencakup semua ibadah. Seperti ketika berkata: wadhu adalah iabadah, ibadah tersebut diharuskan
niyat. Maka amal perbuatan harus disertai niat. Maka hal tersebut merupakan
pembahasan masalah fiqih berbeda dengan ushul fiqih. (Hartati.
2012)
Jika
kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah
fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut
selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah
memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqh
merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga
kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah,
yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh
mengijtihadkan suatu hukum.
Maka penulis
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu. Sedangkan kaidah
fikih muncul setelah furu’.
C. Antara qawaid fiqhiyah dan dhawabith fiqhiyah
Kemiripan antara kaedah fiqhiyah dengan dhabit perlu dibedakan. Dzabit lebih
husus, adapun Kaidah fiqhiyah mencakup berbagai bab fiqh, berbeda dengan dzabit
yang hanya mencakup satu bab saja. Seperti contoh (اليقين
لا يزول بالشك) atau(الشك يُدْرَأ باليقين)؛ dalam kaidah tersebut berfungsi pada masalah fiqh mengenai hal yang
berkaitan dengan yakin atau ragu, maka kaidah tersebut dapat diterapkan dalam
beberapa bab fiqih seperti bersuci, sholat, puasa, zakat dan lain-lain.
Contoh dzabith adalah
(كل
ما يُعْتَبَر في سجود الصلاة؛ يُعْتَبَر في سجود التلاوة) maka, hal tersebut hanya husus dalam
bahasan sholat, bukan pada bab fiqhih yang lainnya. (صالح
. 1420 هـ ـ 2000 م).
4. FAEDAH QAWA’IDAH
FIQHIYAH
Banyak sekali faedah-fedah yang dapat diambil dari
kai77dah fiqih ini,dua diantaranya yaitu:
A. Sebuah kaedah fiqih yang bisa
digunakan untuk mengetahui banyak permasalahan fiqih yang
tercangkup dalam pembahasannya.dan ini akan sangat memudahkan seorang penuntut
ilmu untuk mengetahui hokum-hukum fiqih tanpa harus menghafal sebuah
permasalahan satu persatu. Berkata imam Al qorrofi : “barang siapa yang
menguasai fiqih lewat penguasaan kaedah-kaedahnya,maka dia tidak butuh untuk
menghafal semua permasalahannya satu persatu karena sudah tercangkup dalam
keumuman kaedah tersebut.
B. Dr Muhammad shidqi berpendapat bahwa
penguasaan kaidah fiqih akan sangat membantu seseorang dalam memberikan sebuah
hukum yang kontemporer dan belum pernah terjadi sebelumnya dengan cara yang
mudah. ( Sabiq, 2009) Penulis menyimpulkan dari dua manfaat tadi bisa difahami
bahwa kaedah fiqih sangat diperlukan sangat penting untuk kaum muslim,untuk itu
kaum muslim perlu mengkaji lebih dalam tentang kaedah fiqih,agar dapat lebih bijak dalam memutuskan suatu
hokum fiqih jika terdapat masalah didalamnya.
5. SUMBER
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah-kaidah fiqih bila ditinjau dari sumbernya, maka terbagi menjadi tiga yaitu
kaedah fiqih yang diambil dari nash Al qur’an dan As Sunah, Kaedah fiqih yang
teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah dan kaedah
fiqih yang diambil dari ijtihat para ulama’.pembahasan ini akan dibahas secara
rinci sebagai berikut:
A. Kaidah fiqih yang teksnya terambil langsung dari nash Al qur’an dan As
Sunah. Misalnya firman Allah ta’ala:
ولا تأكلوا أموا لكم بينكم بالباطل
<188>
"Dan
janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang bathil.”(QS.Al
Baqoroh: 188)
Ayat ini menunjukkan sebuah
kaidah tentang haramnya semua jenis transaksi dan perbuatan yang akan berakibat
memakan harta orang lain dengan cara yang tidak syar’i.
Adapun missal kaedah fiqih
yang terambil dari sabda rosuluallah SAW adalah:
لا ضرر ولا ضرار
"Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri
sendiri maupun orang lain.”
Hadits ini merupakan kaedah umum tentang berbagai
hal,mulai dari masalah makanan pergaulan,muamalah dan lainnya.bahwasannya semua
itu kalau mengakibatan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain maka
diharamkan.
B.
Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As
Sunah,namun kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as Sunah.
Misalnya adalah sebuah kaedah
yang sangat masyhur:
اليقين لا يزول بالشكّ
"Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan
sebuah keragu-raguan.”
Kaadah ini
berdasarkan kepada hadits, diantaranya adalah hadits abu sa’id Al hudri:
إذا شكّ أحدكم في صلاته فلم يدر كم صلّى أثلاثا أم أربعا
فليطرح الشكّ و ليبن على ما استيقن
"Dari Abu Said al Khudri berkata: “ Rosululloh
bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan
dia tidak mengetahui sudah berapa rokaat dia sholat, apakah tiga ataukah empat
rokaat dia sholat,maka hendaklah dia membuang keraguan tersebut dan
berpeganglah pada sesuatu yang meyakinkan.”(HR.Muslim)
C. Kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’.dan ini biasanya didasarkan atas sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah (maksud dan tujuan dari sebuah hu kum syar’i ) atau yang lainnya. ( Sabiq, 2009)
6. HUKUM BERHUJJAH DENGAN QAWAID FIQHIYAH
C. Kaidah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’.dan ini biasanya didasarkan atas sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah (maksud dan tujuan dari sebuah hu kum syar’i ) atau yang lainnya. ( Sabiq, 2009)
6. HUKUM BERHUJJAH DENGAN QAWAID FIQHIYAH
Apakah kaidah-kaidah fiqih ini boleh dijadikan sebagai
sebuah hujjah? Jawabannya: masalah ini perlu diperinci sesuai
dengan perincian sumber kaidah fiqih.
Pertama:jika kaidah itu teksnya langsung
terambil dari nash al-qur’an dan as sunah as shohihah,maka tidak diragukan lagi
bahwa kaedah itu adalah hujjah,karena berhujjah dengan kaidah tersebut sama
saja dengan berhujjah dengan nash yang menjadi sandaran utamanya.
Kedua: jika kedua itu teksnya tidak langsung terambil dari nash, namun hanya disusun oleh para ulama’, hanya saja kandungan maknanya berdasarkan pada apa yang terdapat dalam al-quran dan as sunnah,maka kaidah semacam inipun hujjah, karena dengan berhujjah dengan kaidah tersebut, sama saja dengan berhujjah dengan berbagai dalil yang mendasarinya.
Kedua: jika kedua itu teksnya tidak langsung terambil dari nash, namun hanya disusun oleh para ulama’, hanya saja kandungan maknanya berdasarkan pada apa yang terdapat dalam al-quran dan as sunnah,maka kaidah semacam inipun hujjah, karena dengan berhujjah dengan kaidah tersebut, sama saja dengan berhujjah dengan berbagai dalil yang mendasarinya.
Ketiga: adapun kaidah fiqih yang tersusun
berdasarkan ijtihat para ulama’ atau berdasarkan dalil qiyas, maqoshid
syar’iyyah maupun lainnya,maka hukumnya adalah hukum berdalil dengan asal dari
kaedah tersebut.( Sabiq, 2009)
7. SEJARAH SINGKAT ILMU QAWA’ID FIQHIYAH
Sejarah semua ilmu-ilmu syar’i dimulai sejak zaman
rosulullah SAW karena memang zaman itulah zaman turunnya wahyu dan tasyri’.
Kaidah fiqih dimulai dengan adanya beberapa ayat dan hadits rosuluallah SAW
yang bisa dianggap sebagai sebuah kaedah yang mencangkup banyak permasalahan
fiqih. Sebagai sebuah contoh adalah beberapa ayat al-quran , diantaranya:
وأحلّ الله البيع وحرّم الرّبوا (275)
“Dan
Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba”
Adapun hadist Rosulullah SAW
diantaranya:
البيّنة على المدعي
واليمين على من انكر
“orang yang menuntut harus mempunyai bukti,sedangkan yang mengingkari cukup bersumpah”
“orang yang menuntut harus mempunyai bukti,sedangkan yang mengingkari cukup bersumpah”
Lalu kalau
kita beranjak kepada zaman sahabat,maka akan kita temukan atsar beberapa
sahabat,yang bisa dianggap sebagai sebuah kaedah fiqih.
Contohnya adalah apa yang
dikatakan oleh umar bin khothob:
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Hak-hak itu tergantung pada
syaratnya.” (HR.bukhori)
Selanjutnya hal-hal semacam
ini juga ditemukan dari perkataan para tabi’in dan para ulama’ setelahnya.
Misalnya apa yang pernah
dikatakan oleh Imam Abu Yusuf Al-Qodli:
التعزير إلى الإمام على قدر عظم الجرم
و صغره
"Hukuman
ta’zir itu diserahkan kepada hakim,tergantung dari besar dan kecilnya tindakan
kriminal.”
كلّ من مات من المسلمين لا وارث له
فماله لبيت المال
“Siapa saja dari kalangan
ummat islam yang meninggal dunia sedangkan ia tidak meninggalkan ahli
waris,maka hartanya untuk baitul mal.”
Bagaimana
pula kalau kita cermati perkataan imam syafi’i dalam beberapa kitabnya maka
akan kita dapati bahwa beliau mengungkapkan sebuah kaedah fiqih,misalnya:
الرخص لايتعدي بها مواضعها
“ Sebuah keringanan syar’i itu
tidak bisa melampaui tempat berlakunya.” (Al umm 1/80)
Imam ahmad berkata :
كل ما جاز فيهالبيع تجوز فيه الهبة
والصدقة و الرهن
“Semua yang
boleh diperjual belikan maka boleh untuk dijadikan bahan hibah, shodaqoh dan
gadai.”(Masail Imam Ahmad oleh Imam abu dawud hal :203)
Dan masih banyak lagi dari
pada ulama’ islam.
Namun kaedah fiqih baru
dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu yang tersendiri sekitar abad keempat
hijriyah kemudian berlanjut pada abad-abad setelahnya.
Adapun yang
pertama kali dianggap mengumpulkan kaedah-kaedah fiqhiyah adalah imam abu thohir ad dabbas beliau adalah salah
seorang ulama’ madzhab hanafi pada abad keempat hijriyah, sebagaimana yang
disyaratkan oleh imam suyuti,al Ala’I dan ibnu nujaim dalam beberapa kitab
qowaid fiqhiyah mereka.
Kemudian diteruskan oleh imam karkhi
(beliau wafat tahun 340H) yang mana beliau memiliki sebuah risalah yang
mengandung tiga puluh Sembilan kaedah fiqhiyah.kemudian setelah itu para ulama’
berlomba untuk menulis dalam bidang ini sehingga banyak didapatkan kitab yang
berhubungan dan membahas kaedah fiqih. (Lihat Al wajiz fi adhohi qowaid Al fiqh al kulliyah oleh Dr
Muhammad Shidqi al burnu hal: 44, Jamharoh al qowaid al fiqhiyah oleh Dr Ali
Ahmad An- Nadawi 1/29 dan selanjutnya ). ( Sabiq,
2009)
8. MACAM-MACAM QAWA’ID
FIQHIYAH
Macam-macam kaedah fiqih bisa
ditinjau dari tiga sisi:
Pertama: ditinjau dari sumbernya.
Kedua : ditinjau dari keluasaan pembahsannya.
Ketiga: ditinjau dari apakah kaidah tersebut disepakati atau
diperselisihkan oleh para ulama’.
Adapun yang pertama,maka telah
dibahas pada sumber kaidah fiqih.
Adapun yang kedua: Maka kaidah fiqih kalau
ditinjau dari luas dan sempitnya pembahasan dan permasalahan, terbagi menjadi
tiga macam:
A. Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam.
A. Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam.
Kaedah ini biasanya disebut
dengan القواعد الكلية الكبري
Jumlah dari kaedah ini yang masyhur dikalangan ulama’ ada lima kaedah,namun
sebagian ahlul ilmi menambahkan satu lagi
sehingga jumlahnya ada enam. Kaidah –kaidah ini adalah:
a) إنما الأعمال بالنيات
"Amal
perbuatan itu tergantung niatnya”
b) اليقين لا يزول بالشكّ
“Sesuatu yang yakin tidak bisa
hilang dengan keraguan”
c) المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan membawa kemudahan”
d) لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh
membuat sesuatu yang membahayakan”
e) العادة محكمة
“Sebuah adat
kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum”
f) إعمال الكلام أولى من إهماله
“memfungsikan
ucapan lebih baik dari pada menghilangkannya”
B. Kaidah yang tidak masuk dalam kaedah besar di atas, dan kaidah ini terbagi menjadi dua, yaitu:
B. Kaidah yang tidak masuk dalam kaedah besar di atas, dan kaidah ini terbagi menjadi dua, yaitu:
Pertama : kaidah-kaidah yang
menjadi cabang dari kaidah besar diatas.
Contohnya:
الضرورات تبيح المحذورات
“Kondisi
darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang”
Kedua:
kaidah-kaidah yang bukan merupakan cabang dari beberapa kaidah besar di atas,
namun juga mencangkup banyak permasalahan fiqih meskipun tidak seluas yang
keenam kaidah di atas.
Contohnya:
التابع تابع
“ Sesuatu
yang hanya mengikuti (lainnya) maka
hukumnya pun pengikut lainnya”.
C. Kaidah yang hanya memiliki kawasan permasalahan yang sempit.yang biasanya hanya berlaku untuk satu atau beberapa bab saja.
C. Kaidah yang hanya memiliki kawasan permasalahan yang sempit.yang biasanya hanya berlaku untuk satu atau beberapa bab saja.
Misalnya:
الأصل في الماء الطهارة
“Asal hukum air itu suci.”
Kaidah ini hanya pada
permasalahan air saja dan tidak berlaku pada yang lainnya.
Adapun yang
ketiga:
yaitu
pembagian kaedah fiqih ditinjau dari kesepakatan atau perselisihan para ulama’,
maka terbagi menjadi dua:
A. Kaedah yang disepakati oleh para ulama
A. Kaedah yang disepakati oleh para ulama
Di antaranya adalah
kaidah-kaidah besar serta banyak kaidah lainnya.
B. Kaedah fiqih madzab tertentu saja.
B. Kaedah fiqih madzab tertentu saja.
Dan ini
adalah beberapa kaidah yang ditetapkan oleh para ulama’ untuk berbagai masalah
yang terdapat dalam madzhab mereka, namun diselisihi oleh madzhab ulama’
lainnya. ( Sabiq, 2009)
9. CARA
ULAMA’ DALAM MENYUSUN QAW’ID FIQHIYAH
Para ulama’ melakukan banyak cara dalam
penyusunan urutan kaidah-kaidah salah satunya dimulai dengan kaidah-kaidah
besar kemudian diikuti dengan beberapa kaidah kecil yang tergabung padanya,
kemudian selain itu ada pula yang dimulai dengan kaedah yang terambil dari nash
alquran dan as sunah, bahkan ada juga yang menulisnya tanpa ada urutan yang
jelas.
10. PENUTUP
Terdapat banyak pengertian dari qawaid fiqhiyah dan dapat disimpulkan
bahwa pengertiannya yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan
masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah
fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan
(menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah
yang serupa dengan suatu kaidah. Perbedaan antara Al-asybah wan nadzair, dzawabitul fiqh
dan qawaid ushuliyah adalah jika asybah
wan nadzair lebih umum dari qawaid fiqhiyah, kemudian terdapat beberapa perbedaan antara perbedaan qawaid
fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan dhabith fiqhiyah
lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid
fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith
fiqhiyah. Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqh ialah , qawaid
ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang
dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid
fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh
yang berada di bawah cakupannya semata. Untuk macam-macam kaidah fiqih bisa
ditinjau dari tiga sisi: ditinjau dari sumbernya, dari keluasaan pembahsannya
dan ditinjau dari apakah kaedah tersebut disepakati atau diperselisihkan oleh
para ulama’. Kaidah-kaidah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam yaitu
إنما الأعمال بالنيات، اليقين لا يزول بالشك، المشقة
تجلب التيسير، لا ضرر ولا ضرار، العادة محكمة،إعمال الكلام أولى من إهماله
DAFTARPUSTAKA
صالح . 1420 هـ ـ 2000 م، مجموعة الفوائد البهية على
منظومة القواعد البهية. المكتبة الشاملة
موسى، إحسان. 1422هـ. ورقة بحثية
بعنوان:دراسة السنة النبوية في جامعة العلوم.المكتبة الشاملة
Sabiq, Ahmad
bin Abdul latief Abu Yusuf. 2009. Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih Islam.
Purwodadi Sedayu Gresik: Pustaka Al-furqon
Hartati. 2012. Hakikat Qawaid Fiqhiyah. (online). (www.abdulhelim.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html. Diakses pada tanggal 19/02/13)
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif
Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Muttafaq 'Alaih
Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah
yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula
untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas
hukumna di nash. Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan di dalam menemukan
hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan
memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar
di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.
Di bawah ini diuraikan beberapa kaidah
fiqh yang terdapat di dalam beberapa kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup
pula kepada berbagai bidang fiqh, antara lain:
1. Kaidah
Fiqh Pertama
الاجتهاد لاينقص بالاجتهاد
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa
suatu hasil ijtihad di masa lalu tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru
dalam kasus yang sama. Seperti yang dikatakan oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah yang kami putuskan pada masa
lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Contoh dari kaidah di atas adalah bila
seseorang menginginkan sholat akan tetapi tidak menemukan air, maka ia
diperbolehkan untuk bertayamum (ijtihad I), seusai sholat ia menemukan air,
maka ia tidak wajib mengulang sholatnya (ijtihad II). Contoh lain adalah
seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku
kejahatan dengan dijatuhi hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama,
datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur
hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berbeda dengan pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan
keadilan yang berbeda, tapi pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda,
maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan
lain-lain.
2. Kaidah
Fiqh Kedua
الايثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب
“mengutamakan
orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi”
Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak
boleh mendahulukan orang lain dalam hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan
barisan pertama dalam sholat, meminang seorang wanita dan mendapatkan
kesempatan air suci dalam berwudhu. Sedang dalam masalah keduniaan maka
disunnatkan mendahulukan orang lain seperti mendahulukan orang lain dalam
menerima zakat dan lain-lain.
3. Kaidah
Fiqh Ketiga
اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
“apabila antara
yang halal dan yang haram berkumpul maka dimenangkan yang haram.”
Pada kaidah tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk mendahulukan yang
haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai satu
masalah, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan, maka dua dalil
itu dipilih yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat. Seperti ketetapan
khalifah Utsman bin Affan ketika ditanya ketentuan mengawini dua saudara, yang
satu berstatus merdeka dan yang lain berstatus budak sahaya. Dalam QS.
An-Nisa’:22, tidak boleh mengumpulkan dua saudara wanita untuk dinikahi. Sedang
dalam QS. An-Nisa’:23, memperbolehkannya asal yang satu menjadi budak sahaya,
maka keputusan beliau adalah melarangnya, sesuai dengan kaidah di atas.
4.
Kaidah Fiqh Keempat
التابع تابع
“pengikut
(hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”
Cabang dari kaidah ini adalah :
التابع لايفرد بالحكم
“pengikut itu
tidak menyendiri di dalam hukum”
Contohnya : anak kambing di dalam perut tidak boleh
dijual dengan sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing
tersebut.
Cabang Kedua:
التابع ساقط بسقوط المتبوع
“pengikut
menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Contohnya: tidak boleh mengawini saudara wanita istri,
tapi jika istrinya telah dicerai maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang Ketiga :
التابع لايتقدم على المتبوع
“Pengikut itu
tidak mendahului yang diikuti”
Contohnya : tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang Keempat :
يغتفر فى التوابع مالا يغتفر فى غيرها
“dapat dimaafkan
pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya
sudah rusak, maka wakaf itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang
mengikuti kebun.
5. Kaidah
Fiqh Kelima
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“tindakan
imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”
Kaidah tersebut bersumber dari perkataan
Imam Syafi’I, bahwa kedudukan imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya
dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul
Umar bin Khattab yang berbunyi “sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta
Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas
menyangkut kebijakan pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia.
6. Kaidah
Keenam
الحدود تسقط بالشبهات
“hukuman had gugur bila masih meragukan
(Syubhat)”
Contohnya : hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikira istrinya. Hal ini tidak dapat dijatuhkan
had sebab hukumnya masih syubhat.
7. Kaidah
Ketujuh
الحريم له حكم ما هو حريم له
“yang menjaga
sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga”
Contoh : wajib mencuci sebagian leher
dan kepala ketika mencuci muka, sebagian lengan atas (sampai siku-siku),
mencuci sebagian atas mata kaki dalam wudhu.
8. Kaidah Kedelapan
اذاجتمع امران من جنس واحد لم يختلف
مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالبا
“apabila dua
perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka yang satu
dimasukkan kepada yang lain menurut kebiasaannya”
Contoh : seseorang yang
berhadas kecil dan berhadas besar kemudian ia mandi untuk menghilangkan hadas
besar, maka kedua hadas tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah tersebut
sama, yang besar dapat mengikuti yang kecil, namun sebaliknya tidak. Demikian
juga dengan seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis kemudian di tujuh hari
pertama bulan syawal berpuasa, maka kedua puasa itu dianggap sah dan mempunyai
dua pahala.
9. Kaidah
Kesembilan
اعمال الكلام اولى من اهماله
“mengamalkan
suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya”
Contoh : seseorang
mengatakan kepada istrinya “engkau saya talak, engkau saya talak” dengan tidak
ada niatan dalam pengulangan itu, maka pengulangan itu dianggap ta’sis, yakni
jatuhnya dua talak, bukan sebagai penguat talak satu.
10. Kaidah Kesepuluh
الخرج بالضمان
“berhak
mendapatkan hasil disebabkan karena keharusan mengganti kerugian”
Contoh : seekor binatang dikembalikan
oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran
atas penggunaan binatang tadi, sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi
hak pembeli.
11. Kaidah Kesebelas
الخروج من الخلاف مستحب
“keluar dari
pertentangan itu diutamakan”
Contoh : membasuh atau mengusap sebagian
rambut kepala dalam berwudu. Bagi Imam Syafi’I cukup mengusap sebagian kecil,
sedang Imam Abu Hanifah memberi batasan minimal sepertiga rambut kepala,
sedangkan Imam Malik mengharuskan keseluruhannya. Agar tidak terjadi kekhilafan
maka terbaik mengikuti Imam Malik, karena itu berarti mengikuti pula pendapat
Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah. Lagi
pula kedua imam tersebut memberi hukum sunnat terhadap pengusapan
keseluruhan.
12. Kaidah Fiqh Kedua Belas
الدفع ى من الرفعاقو
“menolak
gugatan lebih kuat dari pada menggugat”
Contoh : untuk menjadi pemimpin
memerlukan persyaratan-persyaratan. Maka lebih mudah menolak calon-calon yang
tidak memenuhi syarat daripada menggugat pemimpin yang sudah diangkat.
13. Kaidah Fiqh Ketiga Belas
الرخص لاتناط بالمعاصى
“keringanan-keringanan
tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Contoh : tidak diperkenankan mengqashar
atau menjamak shalat atau juga berbuka puasa di bulan ramadhan ketika dalam
perjalanan menuju maksiat, misalnya untuk berjudi, bertemu dengan wanita atau
lelaki yang tidak halal dengan tujuan berkhalwat dan lain-lain.
14. Kaidah Keempat Belas
الرخص لاتناط بالشك
“keringanan-keringanan
tidak dikaitkan dengan keragu-raguan”
Contoh : seseorang ragu seberapa jauh
jarak yang dia tempuh dalam perjalanan, maka kondisi seperti ini ia tidak boleh
menjamak atau mengqashar sholat.
15. Kaidah Kelima Belas
الرضا بالشئ رضا بما بتولد منه
“Ridha
terhadap sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu
tersebut”
Contoh : seseorang ridha membeli rumah
yang sudah rusak, maka dia juga harus ridha apabila rumah itu runtuh. Apabila
ridha beragama Islam, maka harus melaksanakan kewajibannya.
16. Kaidah Fiqh Keenam Belas
السؤال معاد فى الجواب
“pertanyaan
itu terulang dalam jawaban”
Maksud dari kaidah ini adalah hukum dari
jawaban itu terletak pada soalnya. Misalnya, seorang hakim bertanya kepada
tergugat (suami) “apakah engkau telah menalak istrimu?” dijawab “ya”. Maka bagi
istri telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.
17. Kaidah Fiqh Ketujuh Belas
لا ينسب الى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض
الحاجة الى البيان بيان
“perkataan
tidak bisa disandarkan pada yang diam, tapi sikap diam pada hal yang
membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan”
Kaidah tersebut
menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan diamnya
seseorang, kecuali ada qarinah, tanda-tanda atau alasan lain yang
menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan juga.
Contohnya, apabila seorang tergugat ditanya oleh hakim, dan dia diam saja, maka
diperlukan bukti-bukti lain untuk menguatkan gugatan penggugat. Akan tetapi,
apabila seorang perawan yang diminta izinnya untuk dinikahkan lalu dia diam
saja tanpa ada perubahan apa-apa ada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan
persetujuannya.
18. Kaidah Fiqh Kedelapan Belas
الفضيلة المتعلقة بذات العبادة اولى من
المتعلقة بمكانها
“keutamaan
yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan
dengan tempatnya”
Misalnya : sholat sendirian (munfarid)
di lingkungan Kakbah adalah lebih utama daripada di luar lingkungan Kakbah.
Akan tetapi sholat di luar lingkungan Kakbah dengan berjamaah lebih utama
daripada sholat sendirian di lingkungan Kakbah, begitu pula di masjid.
19. Kaidah Fiqh Kesembilan Belas
الواجب لايترك الا لواجب
“sesuatu yang
wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula”
Contohnya : seorang istri berpuasa senin
atau kamis, namun suaminya tidak menginginkan puasanya karena sebab-sebab tertentu,
maka istri tersebut wajib meninggalkan puasanya untuk memenuhi keinginan
suaminya.
20. Kaidah Fiqh Kedua Puluh
ماحرم استعماله حرم اتخاذه
“apa yang haram diambilnya haram pula
diberikannya”
Kaidah di atas menetapkan bahwa tidak
diperkenankan seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain, apabila
diberikan maka ia termasuk menolong dan mendorong atas pekerjaan dosa dan
diharamkan.
21. Kaidah Fiqh Keduapuluh Satu
المشغول لا يشغل
“sesuatu yang
sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek
perbuatan lainnya”
Contohnya : apabila seseorang telah
menggadaikan hartanya pada Bank Syari’ah misalnya, maka ia tidak bisa
menggadaikan lagi kepada bank yang lain, atau menjualnya.
22. Kaidah Fiqh Keduapuluh Dua
من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحرمانه
“barangsiapa
yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapat
sesuatu tersebut”
Contohnya : belum masuk waktunya sholat
lalu ia sholat, atau belum waktunya berbuka ia berbuka, maka baik sholat maupun
puasanya menjadi batal. Contoh lain adalah seorang ahli waris membunuh
pewarisnya, maka ia tidak berhak atas warisan tersebut.
23. Kaidah Fiqh Keduapuluh Tiga
الولاية الخاصة اقوى من الولاية العامة
“kekuasaan
yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekuasaan yang umum”
Contohnya : Camat lebih kuat
kekuasaannya dalam wilayahnya daripada Gubernur, Ketua RT lebih kuat
kekuasaannya dalam wilayahnya daripada kepala Desa, wali nasab lebih kuat
kekuasaannya terhadap anaknya daripada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.
Daftar Pustaka :
- Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih : Kaidah-Kaidah Dalam Hukum Islam
Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2011
- Usman, Mukhlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam :
Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002
- Majid, Abdul, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih,
Jakarta: Kalam Mulia, 2008
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances